
Jayapura, 21/2/2025 – Di tengah hiruk-pikuk kota yang terus berkembang, ada seorang pria yang mengabdikan hidupnya untuk mendengar, merekam, dan menerjemahkan suara-suara alam menjadi sebuah kisah yang menggugah kesadaran. Namanya Markus Rumbino, seorang komposer elektroakustik asal Papua.
Markus bukan sekadar pencipta musik. Ia adalah perantara antara manusia dan alam, menjembatani pesan-pesan tersembunyi yang kerap terabaikan di balik dedaunan, gemuruh ombak, hingga nyanyian burung di rimba Papua. Musiknya adalah pantulan realitas lingkungan yang semakin tergerus oleh pembangunan dan kerakusan manusia.
Salah satu kisah yang paling membekas dalam perjalanannya adalah tentang suara Cenderawasih, burung surga yang kini semakin sulit ditemui. Tahun 2017, dengan peralatan canggih, Markus merekam suara burung Cenderawasih di kawasan antara Puai dan Arso, persis di batas Kabupaten Jayapura, Keerom, dan Kota Jayapura. Saat itu, dari pukul lima hingga tujuh pagi, nyanyian merdu burung-burung itu memenuhi udara, seolah menari di antara pepohonan yang masih tegak berdiri.
Namun, enam tahun berselang, saat ia kembali ke tempat yang sama, hanya ada satu suara Cenderawasih yang terdengar, itu pun samar dan dari kejauhan. Hutan yang dulu menjadi panggung tempat mereka bernyanyi telah berubah. Penebangan liar dan ekspansi manusia telah mengusir mereka dari rumahnya. “Kitong santai di kota, tapi kitong tra tau kalo hutan di belakang sana dong su babat habis,” ujar Markus, getir.
Suara yang terekam di pagi itu bukan sekadar nyanyian, melainkan jeritan terakhir sebelum sang burung menghilang entah ke mana. Mungkin, itu adalah pesan perpisahan—sebuah salam terakhir dari alam yang semakin kehilangan suaranya.
Markus menyelesaikan pendidikan sarjana seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 2013 dan menyelesaiakan pendidikan magister seni dengan minat utama pengkajian musik nusantara pada tahun 2021
Markus telah mengikuti program pegiat budaya yang dilaksanakan kemendikbud di Selandia Baru (2016), Europalia Festival di Belgium (2017), Konfrensi Musik Pacific, Ambon (2019), Pekan Komponis Indonesia (2021), Glasgow Electronic and Audio Visual Media Festival (2023), Intenational Computer Music Conference di China (2023), Australasian Computer Music Conference di Australia (2023), Temu Seni Indonesia Bertutur, Ambon (2024) Field Recording Pameran BHOLUH di Jayapura-Papua (2024), International Computer Music Conferance di Seoul, Korea Selatan, Program Baku Konek di Alyakha Art Center ,Sentani (2024),Festival Komunitas Seni Media (2024) di Makkassar.
“Saya suka melakukan aktifitas soundwalk mendengarkan suara alam di Papua melakukan field recording dan merekam nyanyian dalam beberapa upacara adat masyarakat di Papua. Selain itu saya juga melakukan eksperiment bunyi dari hasil melakukan field recording dan membuat komposisi soundscape dan komposisi bunyi,” katanya.
Markus berbagi kisah ini dalam Workshop Audio Film & Podcast yang digelar oleh Imaji Papua di Jayapura pada 21-22 Februari 2025. Bersama rekannya, Yosua Victor Wambrauw, ia berbagi teknik merekam suara, membangun narasi audio, dan merangkai kisah dalam bentuk musik serta podcast.
Yosua, seorang musisi yang juga aktif dalam berbagai proyek seni, telah banyak berkarya dan berkolaborasi dengan seniman lain. Ia terlibat dalam pembuatan musik ilustrasi untuk film dokumenter yang diproduksi Imaji Papua seperti Demianus Wasage’s Journey: Touch The Heart of Papua Land (2022) dan Yawa Datum (Sedang Bertumbuh) (2023).
Head of Imaji Papua, Yulika Anastasia mengatakan pelaksanaan kegiatan ini mendapatkan dukungan pendanaan dari LPDP Dana Indonesiana. “ Kami mendapatkan hibah dari dana Indonesiana untuk menjalankan beberapa kegiatan seperti Workshop audio film, produksi film documenter dan program eksebisi karya. Workshop ini sebagai pembekalan kru Imaji Papua dalam memproduksi film.
Workshop ini bukan sekadar pelatihan teknis. Ia adalah panggilan bagi setiap peserta untuk lebih peka terhadap suara di sekitar mereka. Bahwa di balik setiap rekaman, ada cerita yang perlu disampaikan. Ada pesan yang menunggu untuk diterjemahkan.
Dan mungkin, di antara frekuensi yang nyaris tak terdengar, masih ada suara alam yang berharap, agar manusia akhirnya mau mendengar. (abe)