
Jayapura (25/7/2025) – Di bawah langit Sentani yang lengang, semilir angin menyapa air danau yang tenang.
Di tepiannya, kehidupan terus bergulat dengan keterbatasan. Lahan sempit, harga sayur yang tak terjangkau, dan akses pasar yang jauh tak pernah menyurutkan langkah para mama. Mereka tahu: dapur harus tetap mengepul, anak-anak harus tetap makan.
Maka ketika kesempatan datang untuk belajar hal baru—bertanam tanpa tanah luas, menggantungkan harapan pada seutas tali, dan menciptakan nutrisi dari limbah dapur—mereka tak menunggu lama.
Ya, inilah semangat dari 10 orang mama-mama, perwakilan Kampung Hobong, Ifar Besar, dan Asei Besar, yang datang ke Community Learning Center (CLC) Hena Uwakhe Imea guna mengikuti pelatihan/belajar bersama pembuatan hidroponik sistem sumbu, makrame gantungan pot, dan pupuk cair sebagai nutrisi hidroponik pada 25 Juli 2025.
Kegiatan ini merupakan inisiatif dari Community Learning Center (CLC) Hena Uwakhe Imea bersama Samdhana Institute, serta mendapat dukungan dari Balai Penerapan Modernisasi Pertanian Papua.
Edison Ayakeding, S.ST., M.Si., mewakili Balai Penerapan Modernisasi Pertanian Papua, menyambut baik kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan keluarga, walau memiliki lahan terbatas sekalipun.
“Kegiatan ini adalah bukti nyata bahwa pertanian tidak harus bergantung pada lahan luas dan modal besar. Dengan kreativitas dan semangat yang tinggi, kita bisa memanfaatkan botol air mineral bekas menjadi pot-pot hidroponik sederhana yang mampu menjadi sumber pangan sehat di rumah tangga,” kata Edison saat memberi sambutan.

Materi Pupuk Organik Cair (POC) sebagai nutrisi hidroponik diajarkan oleh Yuliana Helena Rumsarwir, S.P., M.Si. dari Balai Penerapan Modernisasi Pertanian Papua. Sementara itu, materi hidroponik sistem sumbu dari botol bekas dan makrame gantungan pot diajarkan oleh Agustha Kopeuw, Penanggung Jawab CLC Hena Uwakhe Imea.
Saat pelatihan, Yuliana mengarahkan mama-mama untuk langsung praktik. Mama-mama pun sigap memulai “aksinya”. Semua tahapan dilakukan dengan baik, mulai dari memotong-motong bonggol pisang hingga mencampurkan semua bahan seperti air cucian beras, air kelapa, gula, EM4, dan air sumur.
Setelah semua bahan masuk dalam wadah dan tertutup rapat, Yuliana menyampaikan bahwa pupuk cair ini ditunggu hingga 14 hari, dan setiap hari penutupnya dibuka selama 1 menit untuk membuang gas. “Ketika aroma pupuk sudah seperti tape, itu artinya sudah jadi,” kata Yuliana menjelaskan, dan dibalas anggukan oleh para mama serta terdengar suara, “Oh, mudah saja buatnya,” dari salah satu mama.
Ada hal menarik terkait “aroma tape”, beberapa mama tampak bingung dan langsung menanyakan kepada pemateri, “Aroma tape seperti apa?” Yuliana pun menjawab, “Seperti saguer,” yang langsung direspons mama-mama dengan ucapan, “Ooooooooo..” secara bersamaan.
Jenerli Mehue, 54 tahun, mama dari Kampung Hobong yang memiliki hobi menanam sayuran di depan rumahnya, menyampaikan, “Saya senang sekali ikut kegiatan ini. Selama ini saya hanya memakai kulit bawang dan air beras, namun sekarang saya tahu cara membuat pupuk cair,” katanya berbagi cerita.
Setelah pelatihan pupuk cair, kini mama-mama belajar cara membuat makrame gantungan pot. Hanya dengan sekali lihat cara Agustha mencontohkan, tangan mama-mama langsung lincah “memainkan” tali yang sudah dipegang sejak awal hingga menjadi makrame gantungan pot. Bahkan, tak hanya satu makrame, mama-mama bahkan membuat dua atau tiga makrame sekaligus. Sungguh luar biasa. Berulang kali Agustha menyeletuk, “Yang datang mama-mama handal mo,” katanya, sambil dibalas gelak tawa mama-mama yang pecah seperti riak air Danau Sentani.
Masih dengan keceriaan dan semangat yang tak surut, walau hari sudah semakin siang, mama-mama tetap menunjukkan antusiasmenya yang besar untuk lanjut mengikuti pelatihan membuat hidroponik sistem sumbu. Mulai dari memotong botol menjadi dua bagian, membuat lubang, pasang sumbu, isi air pada bagian bawah, balikkan botol bagian atas pada posisi terbalik, masukkan tanah, hingga bibit yang ingin ditanam.
Pada saat praktik, para mama memilih menanam bunga, karena memang sekeliling lokasi praktik penuh dengan bunga yang tumbuh subur. Para mama pun langsung “mengambil” bunga tersebut untuk dijadikan bibit pada hidroponik buatannya.
Mama Rina Kristina, 43 tahun, seorang ibu rumah tangga dari Kampung Asei Besar yang memiliki 3 orang anak, menyampaikan akan menanam sayuran begitu kembali ke kampung. “Saya akan tanam sawi, bayam, dan kangkung nanti di kampung,” katanya mantap. Dengan wajah serius, Mama Rina juga menambahkan, “Saya punya 3 orang anak, bayangkan, setiap kali mau beli sayur, saya harus bayar ongkos speed boat dan ojek,” katanya dengan nada sedikit lantang.
Hal senada juga disampaikan Yofinta Tia Kubia, 46 tahun, dari Kampung Ifar Besar. “Dengan mengikuti kegiatan ini, kita bisa langsung tanam sayur. Mudah-mudahan lancar, kitong bisa langsung buat,” kata Yofinta penuh harap. “Kitong tidak perlu setengah mati cari tanah kosong untuk tanam-tanam sayur,” katanya lagi.
Agustha Kopeuw, saat diminta keterangannya terkait materi yang diajarkan, menyampaikan, “Kita tidak bisa melawan pembangunan. Keterbatasan lahan tidak menjadi alasan untuk kita lantas tidak bisa bercocok tanam,” kata Agustha tegas. “Apalagi dengan menggunakan botol bekas, ini akan mengurangi sampah.”
Mentari mulai miring ke barat, tapi semangat para mama belum surut. Di tangan mereka, botol bekas menjelma pot hidroponik, tali-tali makrame membingkai harapan baru, dan cairan hasil fermentasi jadi simbol pengetahuan yang tumbuh dari akar.
Mereka tak lagi menunggu bantuan datang dari jauh. Mereka belajar, mencoba, dan percaya bahwa dari halaman sempit pun, kehidupan bisa disemai.
Di tepi Danau Sentani, pelan-pelan, ketahanan pangan tidak lagi sekadar wacana. Ia menjelma menjadi aksi, menjadi gerakan kecil namun nyata—dibangun dari ketulusan tangan-tangan mama.
Sebab bagi mereka, menanam bukan hanya soal sayur. Tapi tentang merawat hidup, menjaga tanah, dan menyalakan masa depan dari rumah sendiri. (*)
Penulis: Astried