
Jayapura (9/11/2024) – Sabtu pagi itu, udara segar menyelimuti Kampung Abar yang terletak di tepian Danau Sentani. Namun, berbeda dengan biasanya, ada yang tak biasa di sana. Anak-anak yang mengenakan seragam sekolah tampak berkerumun di salah satu rumah warga, padahal ini bukan hari sekolah. Mereka berkumpul bukan karena tugas wajib, tetapi karena sebuah kesempatan langka: belajar bahasa Inggris dan bahasa isyarat bersama anggota dari Kolaborasi komunitas Noken MamTa, Komunitas Tuli Jayapura (KTJ) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Inggris Uncen Jayapura.
Di dalam rumah, suasana berangsur hidup saat Sandra Waisimon memulai kelas bahasa Inggris. Sandra, yang merupakan penggerak Noken MamTa, memecah anak-anak dalam tiga kelas sesuai usia. Anak-anak SD kelas 1-3 diajarkan oleh Sandra sendiri, SD kelas 4-6 oleh Nur Alfi Tri Irianto, dan untuk kelompok SMP hingga dewasa, giliran Laura Modouw yang menjadi pengajar. Pembelajaran berlangsung sederhana tetapi penuh makna, setiap kata yang diajarkan memiliki bobot harapan akan masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak Abar.
Sandra berbicara dengan penuh dedikasi, “Kami di sini bukan hanya untuk mengajarkan bahasa. Kami ingin anak-anak ini kelak mampu memperkenalkan kampung mereka yang sudah terkenal sebagai destinasi wisata. Dengan belajar bahasa Inggris, kami berharap mereka bisa membawa nama Kampung Abar ke dunia luar.”
Laura Modouw, seorang mahasiswa dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih, tampak tak kalah semangat. Ia menyadari bahwa tidak semua yang ia ajarkan pernah diajarkan di sekolah. Dengan kelembutan dan penuh perhatian, ia berkata, “Kami siap membantu apa pun yang belum mereka pahami. Mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.”
Setelah dua jam berlalu, pelajaran bahasa Inggris beralih ke bahasa isyarat. Kali ini, semua mata tertuju pada dua pemuda dari Komunitas Tuli Jayapura, David Rumbewas dan Rival, yang dengan penuh kesabaran memperkenalkan abjad dan kalimat sapa dalam bahasa isyarat. Mereka dibantu oleh seorang juru bahasa isyarat yang membuat komunikasi semakin lancar. Di bawah sorotan mata anak-anak, David dan Rival mengajarkan setiap gerakan tangan dan jari, memperkenalkan mereka pada dunia baru yang senyap namun bermakna.
Anak-anak mengikuti dengan tatapan yang intens, dan ketika diminta untuk memperagakan apa yang telah dipelajari, mereka melakukannya tanpa ragu. Bahkan, ketika David bertanya siapa yang berani maju ke depan, jari-jari mungil itu berlomba-lomba teracung, menandakan semangat mereka untuk mencoba.
David menuturkan kesannya dengan mata berbinar, “Anak-anak ini luar biasa antusias. Banyak yang angkat tangan, walaupun beberapa masih malu-malu. Tapi saya yakin, mereka bisa.” Kalimatnya sederhana, namun penuh kebanggaan.
Di antara anak-anak itu, Zelinda Gavriela Felle, seorang anak Kampung Abar, mengungkapkan perasaannya dengan tegas. “Saya senang sekali bisa belajar bahasa Inggris dan bahasa isyarat. Ada yang belum pernah saya pelajari sebelumnya, jadi ini semua terasa baru dan seru,” katanya mantap, dengan senyum yang menguar ketulusan dan antusiasme.
Di bawah langit Abar yang tenang, anak-anak itu menenun mimpi mereka. Setiap kata dalam bahasa Inggris dan setiap gerakan tangan dalam bahasa isyarat bukan sekadar keterampilan, melainkan benang-benang masa depan yang sedang mereka anyam bersama. Mungkin suatu hari nanti, mereka akan berdiri di tepi Danau Sentani, menyapa para pelancong asing dalam bahasa yang sekarang masih terasa asing bagi mereka. Dan di saat itu, mereka akan tahu bahwa mimpi yang mereka rajut di hari Sabtu yang sederhana ini adalah langkah awal menuju dunia yang lebih luas.(Astried)