
Merauke(4/11/2024) – Di ujung timur Nusantara, tepat di batas negeri, Merauke berdiri dengan tanahnya yang perawan dan masyarakat adatnya yang lekat pada akar leluhur. Namun, di tengah cita-cita besar “cetak sawah” dan pembukaan lahan jutaan hektare untuk ketahanan pangan, suara-suara kecil dari masyarakat adat Papua Selatan seolah meredup, tergerus ambisi nasional.
Di pagi Minggu cerah, Presiden Prabowo Subianto tiba di Merauke, disambut dengan hangat oleh para pejabat lokal. Rombongan besar menyertai: Panglima TNI, Menteri Pertanian, hingga Kapolda Papua. Mereka melangkah mantap meninjau program cetak sawah di berbagai distrik. Sebuah proyek strategis dengan lahan ribuan hektare di Merauke ini, sesuai ambisi sang presiden, akan menjadi basis besar swasembada pangan negeri di ujung timur.
“Merauke, dengan tanah yang luas dan subur, adalah potensi untuk lumbung pangan nasional,” tutur Menteri Pertanian. Program yang diusung menjanjikan pertanian modern dengan dukungan teknologi. Traktor, rice transplanter, dan mesin combine harvester akan memenuhi lahan, memudahkan proses tanam hingga panen.
Namun, di balik harapan pemerintah, muncul bayang-bayang keresahan di kalangan masyarakat adat Malind dan Kondodigun, yang menganggap kehadiran proyek ini bak “badai dalam hutan”. Lahan yang digarap, menurut mereka, adalah milik leluhur yang sakral, namun tiba-tiba tergilas tanpa ada sosialisasi menyeluruh.
Simon Petrus Balagaize, seorang tokoh adat, dengan berat hati mengungkapkan bahwa di lahan yang kini dipenuhi alat berat, tidak pernah ada izin dari masyarakat. “Tiba-tiba saja perusahaan datang dengan bulldozer dan ekskavator, tanpa kami tahu. Mereka datang dan memporak-porandakan kampung tanpa permisi. Kami sudah sepakat menolak PSN ini,” tegasnya.
Bagi masyarakat adat Malind, setiap pohon, rawa, dan tanah bukan sekadar objek; mereka adalah warisan leluhur yang mengandung nilai spiritual. Dengan keberadaan alat berat dan proyek skala besar, ekosistem hutan yang menjadi sumber makanan dan obat-obatan kini terancam lenyap.
Ancaman ini tak hanya datang dari perusahaan; di balik proyek, aparat keamanan hadir mengawal setiap langkah. Kehadiran mereka menciptakan atmosfer yang menekan dan membuat masyarakat takut untuk bergerak di tanah kelahiran mereka sendiri. Balagaize menyebutnya sebagai “teror psikologis”—kehadiran aparat yang menakut-nakuti masyarakat, termasuk di hutan-hutan sakral yang dianggap keramat.
Romo Pius Cornelius Manu, tokoh agama yang mendampingi masyarakat adat, bercerita tentang pengalaman mereka. “Kami tak bebas bicara,” keluhnya, “setiap kali kami berkumpul, mata-mata hadir.” Pada pertemuan sederhana yang digelar di Pantai Merauke, terlihat intelijen TNI memantau pertemuan dari sudut-sudut desa. Suasana menjadi tegang, rasa takut begitu lekat di udara.
Kehadiran intelijen di setiap pertemuan masyarakat menjadi paradoks—bagaimana bisa masyarakat adat, pemilik sah tanah ini, diperlakukan seolah mereka tamu asing?
Ariston Moyuwend, seorang warga Merauke, merasakan betul kerasnya tekanan. Dalam kisahnya, ia menceritakan bagaimana keponakannya, yang hanya meminta perusahaan untuk tidak melintasi wilayah sakral, diancam oleh tentara yang datang dengan senjata terhunus. “Kalau kamu menghalangi pekerjaan ini, kami akan hancurkan kepalamu,” ujar seorang tentara, memaksa keponakan Moyuwend mundur.
Dalam pengamatan Moyuwend, intimidasi semacam ini bukanlah kejadian sekali dua kali. Warga dipaksa untuk mengalah, atau hidup di bawah bayang-bayang ancaman.
Penolakan demi penolakan terus bergulir. Masyarakat adat berusaha menunjukkan perlawanan dengan caranya. Dalam sebuah aksi, mereka melumuri wajah dengan lumpur putih, simbol duka dan kerelaan mereka menjadi bagian dari tanah leluhur yang mereka cintai. Mereka berbaris, berteriak lantang menolak keberadaan perusahaan yang menurut mereka “mencuri” tanah adat. Di leher mereka tergantung tulisan besar, “Tolak PSN dan Perusahaan Jhonlin.”
Pemerintah terus melaju, bertekad untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui Proyek Strategis Nasional di Merauke. Namun, di balik kemegahan rencana besar itu, ada jeritan yang nyaris tak terdengar, rintihan masyarakat adat yang merasa tercerabut dari akar. Tanah yang dulunya adalah sumber kehidupan kini menjadi mimpi buruk.
Apakah semua ini layak demi sebuah ambisi ketahanan pangan, sementara nyawa dan kehidupan ribuan masyarakat adat terguncang, tanpa kepastian? Kisah ini bukan sekadar tentang pencetakan sawah, tetapi tentang upaya mempertahankan hak dan martabat yang melekat pada tanah nenek moyang.
Sementara dunia memandang proyek ini dengan kebanggaan, masyarakat adat Merauke memandangnya dengan air mata.(CR-7)