
Jayapura, 21 November 2024 – Tanah Papua kembali menjadi saksi bisu kekerasan yang tak kunjung usai. Dari letupan bom molotov di kantor Redaksi Jubi hingga gas air mata yang menyelimuti rumah-rumah warga, serangkaian peristiwa ini tak hanya melukai tubuh, tetapi juga menghancurkan jiwa. Dalam surat terbukanya, 21 November 2024 di Sentani, Dewan Gereja Papua memotret kekerasan ini sebagai bagian dari skenario sistematis yang menutup ruang dialog dan harapan.
Bom molotov yang meledak di depan kantor Redaksi Jubi pada 16 Oktober lalu menjadi episode terbaru dari teror terhadap media. Jubi, yang dikenal vokal menyuarakan keadilan, telah lama menjadi target intimidasi. Sebelumnya, serangan serupa menimpa Victor Mambor, wartawan senior Jubi, yang rumahnya diserang pada Juni 2023.
Namun, hingga kini, misteri di balik serangan ini tetap gelap. Apa motifnya? Siapa dalangnya? Pertanyaan-pertanyaan ini seolah terabaikan di tengah hiruk-pikuk kekuasaan yang mengutamakan pembangunan fisik tanpa memedulikan luka sosial.
Pada 15 November 2024, suasana Lingkaran Abepura berubah menjadi medan penuh tangis. Aksi damai Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menolak program transmigrasi dibubarkan secara paksa. Gas air mata yang dilepaskan aparat tak hanya menyasar demonstran, tetapi juga merembet ke rumah-rumah warga.
Di antara korban adalah seorang bayi dua tahun dan seorang nenek yang sakit. Mereka terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat paparan gas. Sejumlah warga yang tak terlibat dalam aksi pun harus menanggung dampaknya, dengan mata perih dan napas sesak. “Kami hanya tinggal di sini, kenapa harus kami yang menderita?” ungkap seorang warga penuh amarah.
Dalam surat terbukanya, Dewan Gereja Papua menggambarkan kekerasan ini bukan sebagai insiden terpisah, tetapi bagian dari skenario yang telah berlangsung sejak 2018. Pendekatan keamanan dengan kekerasan, menurut mereka, adalah alat untuk melumpuhkan perlawanan politik Papua.
Kebijakan transmigrasi, salah satu akar dari aksi damai tersebut, dianggap sebagai langkah sepihak yang mengabaikan empat akar konflik Papua, sebagaimana diidentifikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemerintah, dalam narasi ini, lebih memilih “solusi pembangunan” yang mengabaikan dialog dan hak menentukan nasib sendiri.
Meski demikian, Gereja Papua tetap memupuk harapan. Mereka menyerukan pentingnya dialog sebagai solusi. Seruan itu tidak hanya ditujukan kepada pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga kepada Orang Asli Papua (OAP). “Papua ke depan akan baik atau tidak, semua di tangan kita,” tulis mereka dengan penuh keyakinan.
Mereka juga mengimbau masyarakat untuk bangkit dari jebakan narasi “meradikalisasi separatisme” yang terus digunakan untuk menjerat OAP dengan pasal makar. Gereja Papua percaya, perubahan dimulai dari kesadaran masyarakat untuk membaca tanda-tanda zaman, mengambil posisi, dan memberdayakan diri.
Gereja Papua juga menantang DPRP Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk aktif menciptakan Papua yang damai dengan membuka ruang dialog. Contoh yang diambil adalah langkah DPRD Sorong dan Pj. Gubernur Papua Barat Daya yang mau menerima aspirasi para aktivis.
Namun, di sisi lain, skeptisisme terhadap niat pemerintah pusat juga terasa. Kehadiran Kementerian HAM yang baru, menurut mereka, hanya akan menjadi alat pencitraan jika tidak diiringi dengan perubahan nyata di lapangan. Kekerasan dan represi yang terus terjadi menjadi bukti nyata bahwa perubahan itu belum kunjung datang.
Surat terbuka ini ditutup dengan pesan mendalam: “Kami Gereja dan bangsa Papua tidak diciptakan Tuhan untuk dihabiskan oleh Indonesia, Amerika, atau bangsa lain.” Mereka mengingatkan bahwa dialog dan perdamaian adalah satu-satunya jalan keluar. Kekerasan yang terus dipupuk hanya akan memperpanjang luka dan dendam.
Dewan Gereja Papua memanggil semua pihak – masyarakat, pemerintah, hingga komunitas internasional – untuk ikut mendorong solusi yang berakar pada keadilan dan kemanusiaan. Di tengah gelapnya kekerasan, secercah harapan itu masih menyala, meski redup.
Papua adalah negeri dengan kekayaan alam yang melimpah, namun kini menjadi arena konflik berkepanjangan. Kekerasan yang mencabik-cabik tubuh dan jiwa rakyatnya adalah sebuah ironi di tengah retorika pembangunan.
Surat terbuka Gereja Papua bukan sekadar catatan keluhan, tetapi panggilan untuk kesadaran. Untuk kita semua yang peduli pada hak asasi manusia, suara ini seharusnya menjadi cambuk untuk bergerak. Papua, dengan segala lukanya, menanti uluran tangan yang tulus untuk menyembuhkannya.(CR-05)