Kiwirok: Di Antara Jerit dan Api

WAMENA (7/1/2025) – Di ketinggian Pegunungan Bintang, tempat udara dingin dan kabut abadi menjadi bagian dari lanskap, terletak distrik Kiwirok, Provinsi Papua Pegunungan. Desa-desa kecil tersebar di lembah yang hijau dan berbukit, dihuni oleh suku Ngalum yang menjalani kehidupan sederhana—bertani ubi dan taro, beternak babi, serta menjunjung tradisi nenek moyang mereka. Namun, sejak September 2021, tanah yang pernah menjadi sumber kehidupan itu berubah menjadi saksi bisu dari tragedi manusia yang memilukan.

Kiwirok adalah cerminan luka yang membara, sebuah simbol dari konflik yang berkecamuk selama puluhan tahun di Papua. Konflik itu bukan sekadar perebutan senjata atau kekuasaan, melainkan pertarungan ideologi, identitas, dan martabat manusia. Bagi ribuan orang Ngalum, Kiwirok adalah kampung halaman yang harus mereka tinggalkan karena serangan yang datang dari langit dan tanah.

Pada bulan September 2021, tragedi Kiwirok bermula ketika Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) menyerang fasilitas pembangunan jalan Trans-Papua. Bulldozer dan alat berat dibakar. Dalam waktu singkat, eskalasi terjadi. Pada 13 September 2021, pertempuran bersenjata antara TPNPB dan pasukan keamanan Indonesia pecah di desa Mangoldogi. Menurut laporan, serangan itu memicu respons keras dari militer Indonesia, yang menggunakan helikopter dan mortir untuk menyerang desa-desa sekitar.

Suara tembakan dan ledakan mengguncang udara Kiwirok. Desa-desa seperti Mangoldogi, Kiwi, dan Oknanggul dihujani mortir, granat, dan peluru. Helikopter berputar di atas kepala, seperti burung pemangsa, menjatuhkan kehancuran di bawahnya. “Kami tidak tahu harus ke mana,” kata seorang saksi, mengenang saat itu. “Kami hanya berlari ke hutan, membawa apa pun yang bisa kami bawa.” Mereka tidak pernah kembali.

Lebih dari dua ribu warga Ngalum melarikan diri dari rumah mereka, menyusuri lembah-lembah yang terjal dan hutan-hutan lebat. Di bawah naungan pohon-pohon besar, mereka mencoba membangun perlindungan seadanya. Namun, hutan bukanlah tempat yang ramah. Para pengungsi, yang terdiri dari anak-anak, perempuan, dan orang tua, menghadapi kelaparan, hipotermia, dan penyakit. Hingga pertengahan 2023, setidaknya 72 orang dilaporkan meninggal akibat kondisi pengungsian yang tidak manusiawi.

Seorang ibu, yang membawa kedua anaknya ke tempat perlindungan di hutan, berbicara tentang malam-malam yang membeku. “Kami hanya memiliki pakaian di badan,” katanya. “Tidak ada selimut. Anak-anak menggigil setiap malam. Mereka menangis karena lapar, tetapi saya tidak bisa memberikan apa pun.” Dalam keadaan seperti itu, waktu terasa beku. Harapan untuk kembali ke rumah memudar setiap harinya.

Setelah serangan udara pada September dan Oktober 2021, desa-desa di Kiwirok berubah menjadi ladang kehancuran. Sebuah analisis gambar satelit menunjukkan bahwa setidaknya 206 bangunan hancur—termasuk rumah, gereja, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Di Kiwi, pusat kesehatan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan malah menjadi sasaran. Menurut kesaksian warga, bangunan itu dibakar setelah ditempati oleh pasukan keamanan sebagai markas sementara.

Di Mangoldogi, sisa-sisa mortir dan peluru berserakan di tanah, bukti nyata dari apa yang terjadi. Sebagian warga yang mencoba kembali ke rumah mereka hanya menemukan puing-puing. Barang-barang pribadi hilang, ternak dibantai, dan bahan bangunan diambil oleh pasukan untuk membangun pos keamanan. “Kami tidak memiliki apa pun lagi,” ujar seorang pria tua, suaranya bergetar oleh kesedihan. “Rumah kami hilang. Kampung kami hilang.”

Pernyataan Ketua MPR, Bambang Soesatyo, pada April 2021, menjadi salah satu simbol dari pendekatan keras pemerintah terhadap konflik Papua. “Hancurkan dulu, HAM kita bicarakan nanti,” katanya, menanggapi serangan terhadap seorang pejabat intelijen Papua oleh TPNPB. Kata-kata ini seolah menjadi pedoman bagi operasi keamanan di wilayah tersebut, di mana kepentingan nasional sering kali mendahului hak-hak dasar manusia.

Namun, pendekatan ini memunculkan pertanyaan besar: apakah tindakan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia di Kiwirok melanggar hukum internasional? Menurut laporan Human Rights Monitor, pola serangan terhadap warga sipil, pengungsian massal, dan kehancuran yang sistematis mungkin memenuhi kriteria kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Statuta Roma.

Konflik di Papua, terutama di Kiwirok, tidak hanya meninggalkan kehancuran fisik tetapi juga trauma yang mendalam bagi komunitas Ngalum. Bagi mereka, tanah adalah bagian dari identitas. Namun, ketika rumah dan gereja mereka hancur, ketika tanah pertanian mereka tidak lagi dapat diakses, mereka kehilangan lebih dari sekadar tempat tinggal. Mereka kehilangan bagian dari diri mereka sendiri.

Seorang tetua adat Ngalum menggambarkan rasa kehilangan itu dengan penuh kepedihan. “Kami bukan hanya kehilangan rumah,” katanya. “Kami kehilangan tempat di mana anak-anak kami belajar, tempat kami berdoa, tempat kami hidup sebagai komunitas. Kami kehilangan masa depan.”

Di tengah kehancuran ini, banyak yang bertanya-tanya: di manakah keadilan? Hingga kini, pemerintah Indonesia belum menyelidiki secara mendalam apa yang terjadi di Kiwirok. Tidak ada pengadilan, tidak ada pertanggungjawaban. Hanya sunyi yang menjawab jeritan mereka.

Meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya—seperti larangan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan—seharusnya menjadi panduan universal. Di Kiwirok, dunia internasional memiliki tanggung jawab untuk melihat, mendengar, dan bertindak. Sebuah penyelidikan independen dapat membuka kebenaran dan memberikan harapan bagi mereka yang terlupakan.

Laporan ini adalah upaya untuk mengungkap apa yang terjadi di Kiwirok dan memberikan suara kepada mereka yang telah kehilangan segalanya. Di balik setiap angka dalam laporan ini, ada manusia—anak yang kehilangan orang tuanya, ibu yang kehilangan rumahnya, dan komunitas yang kehilangan identitasnya.

Kiwirok adalah kisah yang pahit, tetapi ia juga adalah panggilan untuk perubahan. Dunia harus mendengar cerita ini, bukan sebagai statistik tetapi sebagai seruan kemanusiaan. Di balik kehancuran, masih ada harapan. Gereja dan organisasi hak asasi manusia terus bekerja untuk membawa bantuan dan perhatian internasional ke wilayah ini. Mereka percaya bahwa, meskipun keadilan terasa jauh, ia tetap mungkin.

Di Kiwirok, di bawah naungan pepohonan tinggi dan langit yang kelabu, ribuan pengungsi masih menunggu. Mereka menunggu hari di mana mereka bisa kembali ke rumah, ke tanah yang pernah menjadi milik mereka, dan ke kehidupan yang pernah mereka kenal. Hingga saat itu tiba, Kiwirok akan tetap menjadi luka yang terbuka, mengingatkan kita bahwa kedamaian sejati hanya bisa ditemukan melalui dialog, penghormatan, dan keadilan. (CR-3 – Dirangkum dari laporan Human Rights Monitor, Agustus 2023)

Admin

Related Posts

Papua dalam Cengkeraman Konflik: Saatnya Negara Menurunkan Senjata dan Mendengar

Ketika 15 jenazah pendulang emas dievakuasi dari hutan Yahukimo pada pertengahan April 2025, satu hal menjadi jelas: Papua kembali berdarah. Kali ini, darah itu mengalir bukan hanya karena peluru dan…

Workshop Imaji Papua : Menyuarakan Alam dan Budaya Papua Lewat Audio

Markus Rumbino ketika mendampingi para peserta untuk memahami peralatan perekam audio yang akan digunakan.(Foto: Abe Yomo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tanah Papua

Kabupaten Yahukimo

  • By
  • Oktober 22, 2024
  • 55 views
Kabupaten Yahukimo

Kabupaten Nduga

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 42 views
Kabupaten Nduga

Kabupaten Yalimo

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 48 views
Kabupaten Yalimo

Kabupaten Tolikara

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 47 views
Kabupaten Tolikara

Kabupaten Pegunungan Bintang

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 42 views
Kabupaten Pegunungan Bintang

Kabupaten Lanny Jaya

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 44 views
Kabupaten Lanny Jaya