Menjaga Warisan di Ujung Ukiran: Kisah Agus Ohee dari Yoka

Di sebuah galeri kecil yang bernama Yomauw Art di Kampung Yoka, Jayapura, terdengar suara alat ukir yang menari di atas kayu. Di sanalah, seorang lelaki setengah baya—berambut putih dan mata tajam penuh pengalaman—memahat waktu dan warisan dalam bentuk motif-motif tua. Ia adalah Agus Ohee, lelaki 57 tahun, maestro ukiran dan lukisan, salah satu dari sedikit yang masih menyalakan api seni rupa dari tanah Sentani.

Agus bukan sekadar seniman. Ia adalah penjaga pusaka budaya. Tangannya menyimpan kisah ratusan tahun—kisah yang digoreskan dalam lekuk-lekuk kayu dan garis-garis warna. Ia lahir dengan bakat, namun bakat itu tak dibiarkan liar. Diasahnya saat menjadi penjaga anjungan seni di Taman Budaya, Expo Waena. Dari sana, mata seninya dibuka, dan dunia ukiran Papua pun seperti membuka diri padanya.

Motif Sentani timur, yang dikenal dengan Yoniki dan Fouw, menjadi napas dari karya-karyanya. Ia tidak hanya melukis atau mengukir; ia menafsirkan dunia adat dan alam melalui garis, lengkung, dan warna. Tidak ada ruang yang tak bisa ia huni—papan bekas, kulit kayu, kanvas, bahkan tembok pun menjadi kanvas bagi warna-warni pikirannya.

Agus Ohee dengan latar belakang karya-karyanya yang terpajang di Sanggar Youmauw Art Kampung Yoka. ( Foto : Facebook Alberth Yomo)

Saya hanya pakai cat tembok,” katanya sederhana, “karena lebih mudah ditemukan.” Tapi yang sederhana ini menjelma jadi dinding-dinding cerita. Karyanya kini menghiasi gapura Polda Papua yang baru, bekas Kantor Majelis Rakyat Papua, hingga pagar-pagar perkantoran di Jayapura dan Keerom.

Eduard Ohodo, tetua adat dan pengukir tradisi Ayapo, menyoroti perbedaan mendasar. “Motif yang dibuat Agus itu disebut Mane-mane,” jelasnya, “ukiran yang terputus-putus. Ia tak punya cerita.”

Bagi Ohodo, ukiran Sentani sejati adalah cerita hidup—tidak boleh ada satu garis pun yang terputus. Setiap lengkung dan simbol membawa makna: tentang alam, manusia, dan Tuhan. Dan tak sembarang orang bisa mengukirnya. “Setiap ukiran bisa menunjukkan derajat—untuk Ondoafi, kepala suku, atau perempuan. Semua ada konsekuensinya.”

Kini, dunia ukiran Sentani berada di ujung tanduk. Saat Papua menggelar PON pada 2021, Enrico Yori Kondologit, antropolog dari Universitas Cenderawasih, menyaksikan krisis regenerasi dengan mata kepalanya sendiri.

“Hanya ada 4 sampai 5 pengukir tersisa, semuanya di atas 55 tahun,” ucapnya. “Anak muda tidak tertarik. Tak ada nilai ekonomi. Dan bahan ukir juga sulit dicari.”

Ukiran di Sentani tak bisa sembarangan dibuat. Ia adalah ekspresi adat, berbeda dengan Asmat atau Biak yang menjadikannya ekspresi seni. Di sini, setiap garis harus sepengetahuan ondoafi—pemangku adat.

Dalam tekanan zaman, Agus memilih jalannya. Ia tidak memposisikan diri sebagai budayawan, melainkan seniman. “Agar bebas berkarya,” ujar Yori. “Agar tidak terkekang aturan adat, namun tetap menjaga motif dasar sebagai ruh Sentani.”

Agus Ohee adalah seperti pelita terakhir di jalan yang mulai gelap. Ia berdiri di antara dua dunia: antara adat yang sakral dan dunia modern yang bergerak cepat. Ia tidak mengklaim dirinya sebagai pemilik cerita. Ia hanya berusaha menyelamatkan bentuk, motif, dan warna dari kebudayaan yang tengah terpinggirkan.

“Tak ada lagi anak muda yang bisa mengukir,” kata Yori pelan. “Kita bersyukur, ada Agus. Meski mungkin bukan dalam bentuk aslinya, tapi tradisi itu masih bernapas.”

Dan selama tangannya masih mampu mengukir, selama kayu masih bisa dijumpai, Agus Ohee akan terus menggoreskan hidup pada setiap permukaan yang ditemuinya—menolak lupa, menolak hening. Ia adalah penjaga dari sebuah peradaban yang hampir tenggelam di danau yang ia cintai: Danau Sentani.

Salah satu saksi perjalanan Agus adalah Bertho Wally, 65 tahun, seorang pengukir Sentani dan pemilik Sanggar Babele Onggo di Kampung Baborongko, Distrik Ebungfauw.

“Agus itu dulu ikut pelatihan mematung dengan saya,” kenangnya. “Tahun 80-an atau 90-an. Tapi perkembangan dia cepat sekali. Dia malah lebih baik dari saya. Pintar sekali melukis. Pernah kami duduk di gelanggang tua yang jembatannya sudah hampir roboh. Dia melukis Danau Sentani, Gunung Cyclop, sampai Puai—indah sekali. Cenderawasih pun dia lukis dengan sangat bagus.”

Bertho mengakui, salah satu keunggulan Agus adalah letaknya yang strategis. “Dia tinggal di Yoka, dekat kota. Sementara saya di seberang Danau. Kami jauh dari akses, sulit berkembang.”

Namun, nada suaranya berubah getir saat bicara soal perhatian pemerintah. “Dulu, zaman Gubernur Bas Suebu, masih ada perhatian. Ada Expo di Waena. Tapi sekarang? Seniman mati pelan-pelan. Tidak ada turis, tidak ada yang beli karya. Kami kehilangan semangat.”

Bertho berharap, pemerintah kembali menciptakan ruang dan pasar bagi seniman Papua. “Kalau tidak, ukiran dan lukisan Sentani ini akan hilang dengan sendirinya. *)

Ditulis oleh : Alberth Yomo

Admin

Related Posts

Anak Muda Peduli Iklim di Jayapura Membuat Kloset Sederhana

Jayapura (23/01/2025) – Yayasan Sehati Sebangsa Indonesia (YSSI) dan WWF Program Papua menggandeng anak-anak muda membuat kloset sederhana yang bisa dibuat sendiri dengan menggunakan bahan-bahan dan peralatan kerja yang bisa…

Kontroversi Seleksi DPR Papua: Mencari Jejak Keadilan

Jayapura (17/1/2025) – Di bawah bayang-bayang megah Kantor Gubernur Papua, puluhan masyarakat adat Tabi Saireri berkumpul dalam unjuk rasa pada pertengahan Januari 2025. Mereka datang dengan tekad, membawa spanduk bertuliskan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tanah Papua

Kabupaten Yahukimo

  • By
  • Oktober 22, 2024
  • 55 views
Kabupaten Yahukimo

Kabupaten Nduga

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 42 views
Kabupaten Nduga

Kabupaten Yalimo

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 49 views
Kabupaten Yalimo

Kabupaten Tolikara

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 48 views
Kabupaten Tolikara

Kabupaten Pegunungan Bintang

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 42 views
Kabupaten Pegunungan Bintang

Kabupaten Lanny Jaya

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 44 views
Kabupaten Lanny Jaya