
Jayapura(25/8/2025) – Solidaritas Mahasiswa Peduli Kemanusiaan Puncak Jaya bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dan perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggelar konferensi pers di Abepura, Senin (25/8/2025). Konferensi pers itu dibuat untuk mengungkap dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Komando Operasi Satgas Habema saat melakukan pengamanan menjelang HUT RI ke-80 di Kampung Mewoluk dan Lumo, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, Kamis (7/8/2025).
Dalam konferensi pers tersebut, Kepala Divisi Advokasi LBH Papua, Arpi Asso menjelaskan kronologis peristiwa bahwa pada Kamis (7/8/2025) terjadi penembakan terhadap seorang anak perempuan berusia 13 tahun. Saat itu korban keluar rumah menggunakan senter, lalu ditemukan keesokan harinya dengan luka tembak di paha kanan. Ia langsung dirawat di Rumah Sakit Nabire. Selain korban penembakan, ditemukan pula tiga persoalan lain: Rusaknya rumah warga, kerusakan fasilitas Gereja GIDI dan terjadinya pengungsian sebanyak 2.720 orang.
Ketua Komunitas Mahasiswa Pelajar Puncak Jaya (KMP-PJ), Demison Wonda, menegaskan bahwa berdasarkan kajian peristiwa, pada 7 Agustus sekitar pukul 03.00 WIT terjadi penembakan terhadap perempuan di bawah umur. Keesokan harinya, antara pukul 07.00–09.00 WIT, terjadi serangan udara menggunakan dua helikopter.
“Helikopter menembaki dari udara hingga dua rumah terbakar. Warga terpaksa mengungsi ke Kampung Balinggup, Biak, Guburu, dan Ogolumum. Sebagian lainnya mengungsi ke Distrik Lumo. Untuk korban tambahan masih belum dapat dipastikan,” ujar Demison.
Ketua Korlap Solidaritas Mahasiswa Peduli Kemanusiaan Puncak Jaya, Erdy G. Wonda, menambahkan bahwa penembakan terjadi baik dari darat maupun udara sehingga mengakibatkan kerusakan fasilitas warga sipil.
“Tiga anak dengan inisial JG (2 tahun), YK (13 tahun), dan TW (15 tahun) ikut menjadi korban penembakan akibat operasi Satgas Habema,” tegas Erdy.
Sementara itu, perwakilan YLBHI, Emanuel Gobay, S.H., M.H., menegaskan bahwa masyarakat sipil Puncak Jaya harus mendapatkan perlindungan dan keadilan atas peristiwa memilukan tersebut.
“Kasus ini termasuk pelanggaran UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang penyalahgunaan senjata api. Selain itu, korban adalah anak di bawah umur sehingga melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Karena korban juga seorang perempuan, ini menjadi pelanggaran terhadap perlindungan perempuan. Ada tiga dimensi hukum yang dilanggar dalam kasus ini,” tegas Emanuel.
Tuntutan Utama KMP-PJ
- Komando Operasi Satgas Habema segera menarik seluruh pasukan non-organik dari Distrik Mewoluk, Lumo, dan Ilamburawi.
- Pemerintah pusat, Provinsi Papua Tengah, dan Pemda Puncak Jaya wajib membangun rumah darurat/pusat pengungsian dengan fasilitas dasar pangan, kesehatan, dan pendidikan darurat.
- Lembaga kemanusiaan (PMI, dinas terkait, ormas, kepala desa, tokoh adat/gereja) harus dilibatkan dalam evakuasi dan identifikasi korban untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
- Rehabilitasi sosial-psikologis wajib diberikan kepada anak-anak dan keluarga korban agar trauma tidak diwariskan lintas generasi.
- Pemerintah Indonesia bersama lembaga independen perlu membuka ruang dialog damai berbasis martabat manusia sebagai solusi permanen konflik di Puncak Jaya.
Sikap KMP-PJ
- Menolak segala bentuk kekerasan bersenjata terhadap masyarakat sipil.
- Mendesak pemerintah pusat, provinsi, dan daerah menghentikan operasi militer di Puncak Jaya.
- Meminta lembaga nasional dan internasional untuk mengawal serta memastikan perlindungan HAM di Papua, khususnya di Puncak Jaya.
Emanuel Gobay minta dengan tegas kepada Gubernur Papua Tengah dan Bupati Puncak Jaya untuk menghentikan aktivitas yang tidak penting, turun langsung ke masyarakat, dan memberikan perlindungan.” Ingat, perlindungan, penghormatan, pendekatan, dan kemajuan adalah hak asasi manusia sekaligus tugas pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten,” ujarnya.(*)
Reporter: Elwen Wenda – Honai Jurnalistik Kampung