Haruskah Cinta Terhalang Budaya Mas Kawin?

Jayapura (8/8/2025)  – Di tanah Papua, mas kawin (mahar) bukan bicara soal “harga” yang dibayar untuk menikahi seorang perempuan. Ia adalah simbol status, kekuasaan, identitas, serta pengikat hubungan antar-marga dan kampung. Namun, dalam perkembangan zaman, tradisi yang sarat makna ini tak lepas dari perdebatan. Ada yang melihatnya sebagai warisan luhur yang harus dijaga, namun ada pula yang menilai nilainya kini kerap menjadi penghalang bagi pasangan untuk menikah.

Di kutip dari Podcast Redaksi Jubi TV, Antropolog Uncen Prof. Dr. Fredrik Sokoy menegaskan, dalam tujuh wilayah adat di Papua, mas kawin adalah bagian dari jaringan nilai yang kompleks. Ia terkait erat dengan kekerabatan, tanggung jawab sosial, aspek ekonomi, bahkan politik tradisional. Merujuk pada Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures, ia menyebut mas kawin memiliki setidaknya tiga makna simbolik: status, kekuasaan, dan identitas.

“Di Papua, perempuan adalah simbol kekuatan ekonomi yang besar. Proses pembayaran mas kawin bisa berlangsung bertahap: mulai dari tingkat keluarga inti, kerabat luas, hingga diakhiri oleh kepala suku yang mewakili seluruh marga,” jelasnya.

Pembayaran ini dilakukan secara kolektif—satu marga, bahkan satu kampung, ikut serta. Bagi masyarakat adat, mas kawin bukan sekadar transaksi, tetapi harga diri kampung. “Tidak membayar mas kawin sama artinya kehilangan kehormatan,” tegas Prof. Sokoy.

Namun ia mengingatkan, ada kesalahan pandangan yang sering muncul: anggapan bahwa setelah mas kawin dibayar, pihak laki-laki bebas memperlakukan perempuan sesuka hati. “Itu fatal. Dalam budaya Papua, mas kawin justru untuk menjaga keseimbangan dan kehormatan perempuan dalam struktur sosial,” ujarnya.

 

Perspektif Gereja: Cinta Lebih Tinggi dari Mas Kawin

Dari sudut pandang teologi Kristen, Pdt. Stevanus Wenda mengakui bahwa gereja menghadapi dilema. Budaya mas kawin tak bisa diabaikan, tetapi Alkitab tidak menempatkannya sebagai syarat mutlak pernikahan.

“Firman Tuhan menekankan kasih: suami mengasihi istri, istri tunduk kepada suami. Mas kawin seharusnya menjadi bentuk ucapan terima kasih dan simbol tanggung jawab, bukan alat menekan atau alasan untuk berlaku kasar,” ujarnya.

Di wilayah pegunungan seperti Lanny Jaya, mas kawin tradisional berupa lima ekor babi: satu untuk persembahan, empat untuk keluarga perempuan. Namun, jika moral dan kehidupan rohani mempelai laki-laki baik, besar kecilnya mas kawin tidak akan merusak rumah tangga. Sebaliknya, tanpa pengendalian iman, mas kawin bisa dijadikan “hak” untuk menguasai perempuan.

Gereja, menurutnya, berperan sejak awal melalui konseling pranikah. “Kami tanya, apakah sudah menghadap orang tua? Apakah mas kawin sudah dibayar atau ada kesepakatan? Karena ini bisa mempengaruhi restu pernikahan gereja,” katanya.

 

Perubahan Zaman dan Tantangan Generasi Muda

Baik Prof. Sokoy maupun Pdt. Wenda sepakat bahwa modernisasi membawa perubahan besar. Dahulu, hubungan dimulai dari aktivitas bersama di kampung—berkebun, membantu keluarga perempuan, hingga terikat secara sosial. Kini, pergaulan kota, media sosial, dan percampuran antar-suku membuat proses itu berubah.

Sebagian anak muda memilih menikah dengan orang luar Papua, menganggapnya sebagai cara menghindari beban mas kawin yang tinggi. Bagi Prof. Sokoy, alasan ini keliru. “Kebudayaan tidak pernah menghukum atau menghalangi. Pembayaran mas kawin adalah tanggung jawab kolektif, bukan beban pribadi,” ujarnya.

Ia bahkan mengusulkan inovasi: mengalihkan semangat gotong royong pembayaran mas kawin menjadi “mas kawin pendidikan” untuk membiayai sekolah anak-anak. “Kita tetap memakai istilah dan semangatnya, tapi untuk tujuan yang lebih relevan di era sekarang,” katanya.

 

Mas Kawin, Hak Perempuan, dan Hukum Adat

Pertanyaan menarik muncul: jika mas kawin belum dibayar, bolehkah keluarga perempuan “mengambil kembali” anaknya?

Menurut Prof. Sokoy, dalam adat, hal itu tidak dibenarkan. Perempuan menikah bukan hanya dengan individu, tetapi dengan marga dan kampung. “Selalu ada mekanisme adat untuk menyelesaikan pembayaran, bahkan jika harus menunggu giliran. Tidak membayar bukan alasan untuk memutuskan pernikahan secara sepihak,” tegasnya.

Dari sisi gereja, Pdt. Wenda mengingatkan, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia.” Mas kawin yang belum lunas sebaiknya diselesaikan melalui dialog, bukan perceraian.

Di akhir diskusi, kedua narasumber sepakat: cinta tidak boleh terhalang oleh mas kawin. Budaya harus dihormati, tetapi nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran kasih Tuhan tetap menjadi fondasi pernikahan.

“Mas kawin adalah identitas dan harga diri. Tapi cinta yang sejati, jika dibangun di atas kasih Allah, akan mampu melewati tantangan apa pun,” kata Pdt. Wenda.

Prof. Sokoy menambahkan, “Tidak ada dalam budaya Papua yang mengatakan bahwa mas kawin boleh menghalangi cinta. Justru ia memperkuat ikatan sosial dan kehormatan.”

Sehingga, berdasarkan perspektif Antropolog dan Teologi itu, dapat disimpulkan bahwa tradisi mas kawin di Papua adalah warisan yang sarat makna simbolik dan sosial. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara melestarikan budaya dan menghindarkan generasi muda dari beban yang menghalangi mereka membangun keluarga. Di tengah perubahan zaman, jawabannya mungkin bukan “menghapus” atau “mengabaikan”, melainkan merevitalisasi tradisi ini agar tetap relevan, adil, dan selaras dengan nilai kasih.(*)

Ditulis oleh : Elos Wenda – Honai Jurnalistik Kampung (HJK)

Admin

Related Posts

Gubernur Papua Tengah Resmi Buka Program Basic TITIP dan Patterning, Tekankan Pentingnya Karakter dan Bahasa untuk Generasi Muda

Sentani (1/9/2025)  – Gubernur Papua Tengah, Meki Fritz Nawipa, melalui Plt Kepala Seksi Fasilitasi Pembiayaan Pendidikan pada Dinas Pendidikan Papua Tengah, Medelky Anouw, S.Si., M.S., secara resmi membuka Program Basic…

2.720 Warga Mengungsi, Mahasiswa Desak Hentikan Operasi Militer di Puncak Jaya

Jayapura(25/8/2025) – Solidaritas Mahasiswa Peduli Kemanusiaan Puncak Jaya bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dan perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggelar konferensi pers di Abepura, Senin (25/8/2025).…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tanah Papua

Kabupaten Yahukimo

  • By
  • Oktober 22, 2024
  • 127 views
Kabupaten Yahukimo

Kabupaten Nduga

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 107 views
Kabupaten Nduga

Kabupaten Yalimo

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 123 views
Kabupaten Yalimo

Kabupaten Tolikara

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 112 views
Kabupaten Tolikara

Kabupaten Pegunungan Bintang

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 100 views
Kabupaten Pegunungan Bintang

Kabupaten Lanny Jaya

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 118 views
Kabupaten Lanny Jaya