
Jayapura,31/10/2024 — Langit Jayapura yang biasanya tenang kini bergemuruh dengan desas-desus dan tudingan. Di balik gemuruh itu, terselip sebuah kisah tentang sosok penjabat (Pj) Walikota Jayapura, Christian Sohilait, yang tengah menapaki garis tipis antara kekuasaan dan pengabdian. Nama Sohilait tersebar di jagat maya, terseret isu panas dugaan intervensi politik yang mengundang tanda tanya atas netralitasnya sebagai pemimpin di kota pelabuhan ini.
Bagaimana kisah ini bermula? Sebuah rekaman suara, bak pesan bisikan di tengah malam, mendadak menyebar luas. Rekaman itu, menurut banyak pihak, berisi seruan Sohilait kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jayapura, meminta dukungan bagi salah satu pasangan calon (paslon) yang akan bertarung dalam Pilkada. Desas-desus kian memuncak, hingga akhirnya para aktivis dari LIRA Papua angkat bicara, memohon pada Bawaslu dan Mabes Polri untuk membuka tirai dugaan ini.
“Toh, jika ini benar adanya, maka hati nurani ASN telah tercemar,” ucap Direktur LIRA Papua, Toenjes Swansen Maniagasi, dalam nada getir. Di bawah sorotan publik, Maniagasi melukiskan betapa tindakan tersebut, jika terbukti, tak hanya menodai etika namun juga meretakkan kepercayaan masyarakat terhadap sebuah sistem demokrasi yang sejatinya bebas dari pengaruh politik pejabat.
Rangkaian Tuduhan dalam Rekaman
Di tangan LSM Gempur Papua dan Koalisi Mahasiswa dan Pemuda Peduli Rakyat (KMPPR), rekaman itu laksana api dalam sekam. Ketua LSM Gempur Papua, Panji Agung Mangkunegoro, bersama Paulinus Ohee dari KMPPR, hadir di hadapan Bawaslu Papua. Mereka menyerahkan bukti itu, mengurai berbagai dugaan pelanggaran, dari pengelolaan dana hingga pemetaan strategi di lapangan. Terdengar pula desas-desus bahwa anggaran APBD Kota Jayapura konon dipetakan untuk memenangkan sang paslon — sebuah tuduhan yang langsung menghantam nurani kota ini.
Panji, dalam keterangannya, mengisahkan rincian mengejutkan dari rekaman tersebut: arahan Sohilait pada ASN untuk mengumpulkan dukungan suara di distrik-distrik, anggaran yang dimobilisasi, hingga perintah pada mereka untuk melibatkan kekuatan profesi sosial. Apa yang mestinya menjadi senyap, kini menjadi cerita di telinga rakyat Jayapura.
Antara Bukti dan Harapan
Mendengar cerita ini, Komisioner Bawaslu Papua, Amandus Situmorang, terlihat menahan napas. Sebagai seorang penegak integritas demokrasi, harapan terakhir rakyat seakan tergantung padanya. “Kami akan teliti dengan seksama laporan ini, sesuai prosedur dan mekanisme yang berlaku,” ujarnya, mematri janji dalam kata-kata tegas.
Bawaslu kini menanti kelengkapan bukti untuk membuka tabir kebenaran. Mereka berencana untuk menindaklanjuti laporan tersebut melalui kajian dan pembahasan di tingkat Gakkumdu. Langkah ini bukan sekadar sebuah proses hukum; ia membawa mimpi masyarakat akan keadilan yang berlandaskan suara jujur.
Menjaga Jayapura dari Bayangan
Di atas kertas laporan, Paulinus Ohee dari KMPPR menulis sebuah tuntutan: agar Sohilait tak hanya menerima sanksi, tetapi juga dipertimbangkan untuk diganti. “Kami hanya ingin demokrasi yang jujur,” tegasnya dengan nada takzim. Dalam benaknya, rakyat Jayapura layak memiliki pemimpin yang mampu menjadi lentera, bukan menambah kelamnya langit di atas kota ini.
Kasus ini adalah refleksi akan perjuangan Papua dalam menjaga marwah demokrasi. Dari sudut-sudut kota, warga Jayapura berharap kasus ini bukan sekadar menjadi riak di tengah samudera kebijakan. Mereka ingin bukti nyata bahwa tanah mereka, sejauh mata memandang, bebas dari bayang-bayang pengaruh politik praktis.
Pada akhirnya, Jayapura menunggu. Di bawah birunya langit, rakyat bertanya-tanya, akankah keadilan hadir di kota ini? Atau, seperti angin malam yang tak terjangkau tangan, cerita ini hanya akan menjadi kenangan yang terbang bersama mimpi tentang kedaulatan suara. (CR-05)