
Boven Digoel (1/11/2024) – Di balik rimbunnya hutan Papua yang menjadi paru-paru dunia, terdengar suara lantang dari Kampung Patriot, Distrik Arimop, Kabupaten Boven Digoel. Suara itu datang dari Marga Amotey, salah satu marga dari Suku Mandobo, yang baru-baru ini menyatakan penolakan tegas atas rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan PT. Papua Berkat Pangan. Mereka menilai kehadiran perusahaan ini tidak hanya mengancam keutuhan tanah adat, tetapi juga keberlangsungan budaya dan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada hutan.
Dalam rapat adat yang berlangsung pada 11-12 Oktober lalu, seluruh anggota Marga Amotey berkumpul, berembuk, dan menyatukan suara. Di tengah diskusi yang penuh rasa hormat pada leluhur, Aloiysius Amotey, kepala marga, menyuarakan keprihatinan masyarakat. “Hutan ini bukan sekadar lahan, tapi sumber kehidupan kami. Di sini ada sagu, makanan pokok kami, ada hewan buruan, kayu, dan tumbuhan yang menopang hidup kami secara turun-temurun. Kehilangan hutan berarti kehilangan kehidupan,” ujarnya dengan tegas.
Aktivisme dari Tanah Kelahiran
Tidak hanya Aloiysius yang bersuara, seorang aktivis lingkungan yang juga berasal dari Kampung Patriot, Maria G. Amotey, turut mendukung sikap ini. Dengan tekad bulat, ia menegaskan bahwa kehadiran perkebunan sawit akan membawa dampak buruk bagi lingkungan. “Deforestasi yang terjadi akibat perkebunan akan memusnahkan flora dan fauna endemik, memperparah pemanasan global, mengganggu siklus air, dan merusak ekosistem yang telah lama kami rawat,” tutur Maria. Baginya, tanah adat bukan sekadar wilayah geografis, tetapi warisan yang harus dijaga demi kelangsungan hidup generasi mendatang.
Kehadiran perkebunan sawit, menurutnya, juga mengancam kearifan lokal yang telah terjaga selama ratusan tahun. Bagi Maria, ekspansi kelapa sawit bukan hanya tentang ekonomi atau pembangunan, tetapi juga tentang hak dan martabat masyarakat adat yang ingin mempertahankan budaya serta tradisi mereka.
Suara Hukum dan Keadilan untuk Masyarakat Adat
Philipus K Chambu, seorang aktivis lingkungan dan kemanusiaan dari LBH Papua Pos Merauke, turut angkat bicara. Ia menekankan pentingnya prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC) dalam proses pengambilan keputusan. “FPIC adalah hak masyarakat untuk menentukan nasib wilayah adatnya tanpa intervensi. Undang-Undang Dasar Indonesia telah mengatur hak-hak ini, termasuk dalam pasal 18B ayat 2, dan dalam aturan otonomi khusus untuk Papua,” jelasnya.
Menurut Philipus, keberadaan hukum ini menjadi pelindung bagi masyarakat adat, termasuk Marga Amotey, dalam menghadapi tekanan dari pihak luar. Jika pemerintah dan perusahaan melanggar hak masyarakat adat dengan memaksakan kehendak mereka, maka mereka sama saja merampas hak-hak yang telah diakui secara hukum.
Perjuangan untuk Masa Depan
Bagi Marga Amotey, perjuangan ini bukanlah sekadar penolakan terhadap perusahaan sawit, melainkan upaya mempertahankan eksistensi mereka sebagai penjaga tanah dan alam. Di tengah modernisasi yang terus menggempur pedalaman Papua, suara Marga Amotey adalah simbol keteguhan hati dan kecintaan terhadap lingkungan yang telah memberi mereka kehidupan selama berabad-abad.
“Tanah ini adalah rumah kami, dan kami tidak akan pernah menyerah untuk melindunginya,” ungkap Aloiysius Amotey, penuh keyakinan. Bagi mereka, tanah adat bukan hanya warisan leluhur, tetapi juga tanggung jawab moral untuk dijaga demi generasi mendatang. (CR-03)