
Jayapura, 19 Desember 2024 – Proyek Strategis Nasional (PSN) yang direncanakan di Tanah Papua terus menuai penolakan keras dari masyarakat adat setempat. Dengan rencana pembukaan lahan dua juta hektar untuk kebun tebu dan sawah di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, masyarakat adat menganggap proyek tersebut sebagai ancaman terhadap tanah adat, hutan, dan ekosistem yang telah menopang kehidupan mereka selama berabad-abad.
Pernyataan ini ditegaskan dalam siaran pers yang diterbitkan Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) se-Papua pada 19 Desember 2024. Dalam dokumen tersebut, masyarakat adat menyoroti penggusuran lahan dan hutan adat yang dilakukan tanpa musyawarah dan persetujuan bebas sebelumnya, yang mereka sebut melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
Proyek strategis ini, berdasarkan laporan Yayasan Pusaka Bantala Rakyat, diproyeksikan akan menghancurkan jutaan hektar hutan savana, rawa, dan lahan gambut di Merauke. Selain dampak lingkungan, masyarakat adat juga menilai proyek ini mengabaikan keberadaan mereka sebagai pemilik sah tanah ulayat.
“Kami bisa hidup tanpa sawit dan tebu, tapi kami tidak bisa hidup tanpa tanah dan hutan,” ujar seorang tokoh adat dalam aksi protes yang berlangsung dari Kondo hingga Digul pada Agustus 2024.
Aparat bersenjata yang mengawal perusahaan dan alat berat proyek semakin menambah ketegangan. Para tokoh masyarakat adat dari Distrik Ilwayab, Tubang, dan Okaba menyatakan secara terbuka bahwa mereka menolak proyek ini karena telah menggusur tanah adat mereka secara sewenang-wenang.
Dukungan terhadap PSN datang dari Uskup Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, yang menyebut proyek tersebut sebagai “proyek kemanusiaan”. Namun, pernyataan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk masyarakat adat dari Marga Moiwend dan Gebze, yang mendesak sang uskup untuk meminta maaf.
Sebaliknya, sejumlah pemimpin agama lainnya justru menyuarakan penolakan. Pendeta Benny Giyai, Moderator Dewan Gereja Papua, dan Pastor John Bunay, Pr, bersama para pendeta dan pastor pribumi, menggelar konferensi pers pada 11 November 2024. Mereka menyatakan bahwa PSN ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga hak-hak masyarakat adat, serta memicu ketegangan sosial akibat transmigrasi yang menyertainya.
“Transmigrasi akan menggeser populasi asli Papua dan menciptakan konflik sosial,” tegas mereka.
Seruan SKPKC se-Papua
Dalam siaran persnya, SKPKC se-Papua menyerukan kepada pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan besar untuk menghentikan proyek ini. Mereka menyampaikan desakan kepada sejumlah pihak, termasuk Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan perusahaan-perusahaan seperti Jhonlin Group, untuk mengevaluasi proyek yang dianggap merusak ekosistem Papua secara masif.
Berikut adalah nama-nama tokoh SKPKC yang bertanda tangan dalam pernyataan tersebut:
- RP Alexandro Rangga, OFM – Direktur SKPKC Fransiskan Papua
- RD Lukas Lega Sando – Direktur SKP Keuskupan Agats
- Saul Wanimbo – Ketua SKP Keuskupan Timika Papua
- RP Heribertus Lobya, OSA – Direktur SKPKC OSA Christus Totus
- Elias Gobay – Sekretaris Komisi KPKC Keuskupan Jayapura
- RP Denis Galus, SVD – Ketua SKP Keuskupan Manokwari-Sorong
Mereka menegaskan bahwa proyek-proyek seperti ini harus dihentikan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan melestarikan ekosistem Papua.
“Biarkan kami tentukan nasib tanah dan hutan kami sendiri,” demikian jeritan masyarakat adat yang tercatat dalam siaran pers ini. Mereka mengingatkan bahwa pembangunan tanpa persetujuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat hanya akan membawa kehancuran, bukan kesejahteraan.
Tanah Papua kini berada di persimpangan jalan. Pilihan yang diambil oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar akan menentukan masa depan kawasan ini—apakah akan menjadi ladang kemakmuran bersama atau menjadi saksi bisu kehancuran warisan leluhur yang tak tergantikan.(CR-03)