
Jayapura (28/11/2024) – Di bawah langit Papua yang kaya akan warna-warni alam, sebuah ironi terus membekas—udara yang dihirup sering kali terasa berat oleh beban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hak-hak dasar warga Papua yang semestinya dijaga, sering kali terabaikan, bahkan dihancurkan oleh dinamika kekuasaan yang represif. Setiap kritik dan seruan keadilan dibungkam, kadang dengan ancaman nyata, intimidasi, dan represi sistemik, baik secara digital maupun langsung di lapangan.
Melihat situasi ini, Grup Aksi Amnesty Papua bekerja sama dengan KoSaPa, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), Chapter Amnesty Universitas Papua (Unipa), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari, dan Lao-Lao Papua, akan menggelar seminar nasional bertajuk “Sa Pu HAM”. Acara ini dijadwalkan berlangsung secara daring pada 30 November 2024. Seminar tersebut diharapkan menjadi titik terang dalam upaya memperkuat pemahaman dan pengetahuan tentang HAM di Papua.
Marselino Pigai, Koordinator Grup Aksi Amnesty Papua, menuturkan bahwa seminar ini adalah bagian dari program “Kelas Studi HAM Papua,” yang bertujuan menjernihkan kebuntuan pemikiran serta memperkokoh kesadaran masyarakat akan isu-isu HAM di Papua.
“Papua selalu menjadi ‘juara’ dalam daftar pelanggaran HAM di Indonesia, bahkan dunia. Namun, hak-hak korban terus terabaikan. Ironisnya, ruang untuk menyuarakan protes terhadap situasi ini kian menyempit,” ujar Marselino dengan nada penuh keprihatinan.
Ia menegaskan bahwa acara ini juga melibatkan berbagai pihak, termasuk para pakar nasional dan internasional. Nama-nama seperti Profesor Dr. Cahyo Pamungkas dari BRIN, Dr. Cypri Jehan Paju Dale dari Universitas Wisconsin-Madison, Latifa Anum Siregar dari ALDP, dan Frits Bernard Ramandey dari Komnas HAM RI Perwakilan Papua akan hadir sebagai pembicara. Kehadiran mereka diharapkan mampu menggugah pertanyaan mendasar: “Apakah manusia Papua diakui sebagai manusia dengan HAM yang setara dengan lainnya?”
Paskalis Haluk, Koordinator Amnesty Chapter Universitas Papua, menekankan pentingnya komitmen kolektif dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat Papua. Baginya, seminar ini adalah platform strategis untuk meningkatkan pemahaman dan advokasi isu HAM di Papua, khususnya di kalangan mahasiswa dan akademisi.
“Sebagai mahasiswa, kami menyadari peran kami untuk memperjuangkan keadilan atas pelanggaran HAM yang hingga kini belum tuntas. Kasus seperti Biak Berdarah, Paniai Berdarah, hingga Wasior Berdarah, masih menjadi luka kolektif yang mendalam,” tutur Haluk dengan suara yang tegas.
Ia berharap seminar ini dapat melahirkan rekomendasi konkret kepada pemerintah agar lebih serius melindungi hak-hak masyarakat Papua. “Kami ingin membangun masa depan yang lebih adil, dengan memastikan setiap suara dari Papua terwakili dalam diskusi dan solusi,” tambahnya.
Seminar “Sa Pu HAM” bukan sekadar diskusi, melainkan juga refleksi kolektif untuk membuka jalan menuju keadilan yang lebih baik. Dengan menggali kompleksitas permasalahan, para peserta diharapkan mampu merancang langkah-langkah strategis dalam memperjuangkan HAM di Papua.
Papua, dengan segala keindahannya, tak seharusnya menjadi saksi bisu atas pelanggaran-pelanggaran ini. Sebaliknya, ia mesti menjadi tempat di mana keadilan tumbuh subur dan hak-hak manusia dihormati sebagaimana mestinya. (CR-03)