
Jayapura, 3/11/2024 – Di malam yang sunyi, 16 Oktober 2024, teror menghampiri Kantor Redaksi Jubi di Jayapura, menghantam hati kebebasan pers di Papua. Bom molotov yang dilemparkan, merusak bukan hanya dua kendaraan, tetapi juga semangat jurnalis yang berani menyuarakan isu-isu kritis. Ledakan itu seolah menjadi isyarat kelam atas situasi demokrasi di Papua. Hingga kini, dua pekan berlalu, namun pelaku masih misteri.
Jeritan untuk keadilan semakin bergema di tanah Papua. Serangan ini menggetarkan, menghantam dinding-dinding ruang pers yang telah lama berdiri sebagai penjaga nurani Papua. Organisasi Cipayung se-Kota Jayapura, yang terdiri dari berbagai kelompok mahasiswa lintas agama dan ideologi, dengan lantang mengecam serangan ini dan menuntut Polda Papua untuk segera mengungkap pelaku teror tersebut.
Dalam konferensi pers, Minggu (3/11/2024 di Jayapura, mereka mendesak keras Kepolisian Daerah Papua agar segera menangkap pelaku, yang hingga kini masih buron.
Bagi Yasman Yaleget, Ketua PMKRI Cabang Jayapura, kasus ini sudah melampaui batas. “Ini sudah yang ketiga kalinya terjadi. Sebelumnya, mobil Viktor Mambor, lalu rumahnya, sekarang kantor. Teror ini sangat serius!” ujarnya dengan nada tegas.
Yaleget mempertanyakan ketepatan dan keseriusan polisi dalam mengusut kasus ini. Ketidakmampuan polisi menyelesaikan kasus ini, menurutnya, hanya akan memperlihatkan ketidakprofesionalan Polda Papua, yang seharusnya bisa menjamin rasa aman di tanah Papua. Ia menegaskan bahwa keadilan bagi Jubi adalah ujian integritas bagi aparat.
Lalius Kabak, Ketua GMKI Cabang Jayapura, ikut mempertanyakan lambatnya proses pengungkapan. Bagaimana mungkin kasus teror ini, yang terekam CCTV, masih belum terpecahkan? “Kami heran, di kota yang terang benderang dengan kamera keamanan, bom molotov ini masih jadi misteri,” serunya. Baginya, ketidakadilan yang menimpa Jubi ini adalah ancaman langsung terhadap kebebasan pers dan demokrasi.
Julio Akhgan dari GMNI bahkan melihat lebih jauh: teror ini bukan sekadar serangan terhadap sebuah media, tapi ancaman nyata terhadap ruang demokrasi di Tanah Papua. Dalam suaranya yang lantang, ia menyebut bom molotov itu sebagai bentuk pembungkaman, usaha keji untuk mengunci mulut-mulut yang vokal menyuarakan kebenaran di Papua. Julio berharap agar jurnalis Papua dapat bekerja tanpa rasa takut, tanpa ancaman yang membayangi.
Bagi Rison Zul Akbar dari HMI, peristiwa ini tak hanya mencoreng wajah kepolisian, tapi juga mencederai psikologi jurnalis yang kini diliputi ketakutan. Kebebasan pers yang selama ini mereka perjuangkan kini terancam, seiring bayang-bayang teror yang terus menghantui. Ia meminta Polda Papua menunjukkan sikap profesional yang penuh tanggung jawab, menyelesaikan kasus ini tanpa penundaan.
Afrizal Saleh Renyaan dari PMII, menegaskan bahwa Jubi bukan sekadar media, tapi suara aspirasi masyarakat Papua. Maka, jika pengungkapan kasus ini diabaikan, kepercayaan masyarakat terhadap keadilan akan terus terkikis. “Kami menuntut Kapolda Papua menyelesaikan kasus ini secara bijaksana,” tandasnya.
Pada akhir konferensi pers, organisasi Cipayung se-Kota Jayapura merumuskan enam poin sikap mereka, menuntut Polda Papua untuk mengusut kasus ini hingga tuntas, mengungkap motif pelaku, dan memastikan agar kebebasan pers di Papua terlindungi. Mereka berjanji, jika satu minggu ke depan belum ada perkembangan berarti, aksi massa akan turun langsung ke jalan.
Bagi Cipayung, kasus bom molotov di Kantor Jubi adalah lebih dari sekadar vandalisme atau teror. Ini adalah ujian besar bagi integritas kepolisian dan bukti sejauh mana suara-suara di Papua masih memiliki ruang untuk bersuara.
Dengan harapan akan adanya perubahan, Cipayung menanti tindakan tegas dari aparat. Bagi mereka, ini adalah medan laga mempertahankan kebebasan yang semakin genting di tengah bayang-bayang teror.
Pekikan Cipayung adalah pekikan perlawanan, tuntutan terhadap keadilan yang mulai terasa samar di Tanah Papua. Ketika suara jurnalis dibungkam, mereka bukan sekadar menumpahkan kata-kata, tetapi juga memperjuangkan hak dasar demokrasi. Dan hingga misteri bom molotov ini terungkap, masyarakat Papua akan terus menunggu – menanti keadilan yang tidak boleh lagi tertunda. (CR-02)
Enam Poin Tuntutan Organisasi Cipayung se-Kota Jayapura:
- Mempertanyakan kinerja Polda Papua dalam mengungkap kasus ini.
- Mendesak pengungkapan tuntas pelaku dan motif.
- Meminta kasus ini jadi perhatian serius Kepolisian RI.
- Mengecam keras pelaku teror di Kantor Jubi.
- Meminta transparansi dan akuntabilitas Polda Papua.
- Menuntut perhatian khusus pada keamanan di Papua.