
Jayapura (17/1/2025) – Di bawah bayang-bayang megah Kantor Gubernur Papua, puluhan masyarakat adat Tabi Saireri berkumpul dalam unjuk rasa pada pertengahan Januari 2025. Mereka datang dengan tekad, membawa spanduk bertuliskan kekecewaan mendalam terhadap hasil seleksi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) melalui mekanisme pengangkatan. “Forum Peduli Kursi Pengangkatan Masyarakat Adat Tabi Saireri” melontarkan tudingan keras, menyebut proses ini sarat kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Namun, protes ini bukan sekadar riak. Ia ibarat ombak yang menghantam keras batu karang integritas Panitia Seleksi (Pansel). Setiap slogan, setiap orasi, adalah refleksi dari ketidakpuasan yang terpendam lama.
Tabir Kecurangan
Daniel Toto, salah satu koordinator Forum Peduli, dengan lantang menyampaikan keresahan kolektif mereka. Ia membeberkan dugaan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 serta aturan yang dirancang sendiri oleh Pansel. “Kami melihat transparansi lenyap dalam tahapan ini. Bahkan, ada calon yang tidak mendaftar secara resmi, tapi tiba-tiba muncul di daftar lolos seleksi,” kata Toto.
Pernyataan Toto memperkuat laporan Irene Waromi, seorang peserta seleksi dari Kepulauan Yapen. Irene menyoroti nama-nama yang telah gugur pada tahap administrasi, namun ajaibnya kembali muncul dalam daftar calon terpilih. “Pertanyaannya, dokumen mereka masuk lewat mana?” tanyanya dengan nada penuh ironi.
Luka Representasi Adat
Mekanisme pengangkatan ini dirancang untuk memberikan kursi legislatif bagi masyarakat adat Papua, sebuah upaya dalam memperkuat representasi mereka di tingkat provinsi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Naomi Marasiam, calon dari Kabupaten Jayapura, menuturkan bahwa nama-nama yang seharusnya memperkuat keterwakilan adat tergeser oleh mereka yang berlatar belakang partai politik atau dinilai memiliki kedekatan dengan Pansel.
“Ada yang kalah di pemilu legislatif sebelumnya, tapi mereka justru muncul di pengangkatan ini. Bukankah ini bertentangan dengan prinsip dasar mekanisme adat?” keluh Naomi.
Kritik ini menyentuh inti dari permasalahan. Proses seleksi yang seharusnya merefleksikan nilai adat dan keadilan justru menjadi ladang subur untuk kepentingan pribadi dan politik. Hal ini semakin diperkeruh oleh fakta bahwa beberapa nama tiba-tiba muncul pada pengumuman ketiga, tanpa melalui seleksi awal yang memadai.
Tudingan pada Pansel
Di tengah badai kritik, Ketua Pansel, Alberth Yoku, bersikeras bahwa pihaknya telah menjalankan proses sesuai regulasi. Ia mengklaim transparansi dan independensi tetap menjadi pedoman utama. Namun, fakta yang dipaparkan masyarakat menunjukkan sisi lain dari narasi ini.
Keterwakilan perempuan, misalnya, menjadi salah satu isu yang kontroversial. Meskipun Pansel mengklaim bahwa perempuan menyumbang 36,36% dari calon terpilih, banyak pihak menilai bahwa penunjukan ini tidak memperhatikan prinsip meritokrasi. Bahkan, beberapa calon perempuan yang layak justru digantikan oleh nama-nama lain tanpa alasan yang jelas.
Lebih jauh lagi, intervensi politik turut menjadi sorotan. Calon-calon non-lokal, yang seharusnya tidak diakomodasi dalam mekanisme pengangkatan adat, justru mendapat tempat dalam daftar terpilih. Keputusan seperti ini bukan hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga menciptakan jurang pemisah antara harapan dan kenyataan.
Suara dari Gubernur
Penjabat Gubernur Papua, Ramses Limbong, yang ditemui di tengah protes, mengaku belum menerima hasil pengumuman dari Pansel. Ia berusaha menjaga jarak dari polemik ini dengan menekankan bahwa Pansel adalah entitas independen. “Jika ada keberatan, silakan menempuh jalur hukum. Ini bukan persoalan yang bisa diselesaikan dengan hanya katanya,” ujarnya tegas.
Namun, di balik pernyataan netralnya, tersimpan dilema besar. Ketika masyarakat adat merasa dikhianati oleh sistem, ke mana lagi mereka harus mencari keadilan? Ramses memberikan waktu hingga sehari setelah protes untuk mengumpulkan bukti pelanggaran, tapi langkah ini dinilai banyak pihak hanya sebagai respons minimal terhadap krisis yang lebih besar.
Solusi yang Masih Bayang-Bayang
Dalam upaya mengurai benang kusut ini, muncul beberapa rekomendasi dari berbagai pihak. Transparansi menjadi kunci utama. Setiap tahap seleksi harus diawasi oleh masyarakat adat, memastikan proses ini benar-benar mencerminkan prinsip otonomi khusus.
Pansel juga harus lebih tegas dalam memastikan bahwa semua calon memenuhi persyaratan administrasi dan adat. Intervensi politik harus diminimalkan, memberikan ruang bagi representasi adat yang autentik.
Namun, langkah-langkah ini hanya akan berhasil jika ada komitmen nyata dari semua pihak yang terlibat. Jika tidak, kontroversi ini hanya akan menjadi salah satu bab dalam sejarah panjang pengkhianatan terhadap masyarakat adat Papua.
Akhir yang Masih Terbuka
Cerita ini belum usai. Protes yang terjadi bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju keadilan. Masyarakat adat Tabi Saireri telah bersuara, menuntut transparansi, keadilan, dan representasi yang sesungguhnya.
Dalam bayang-bayang megah Kantor Gubernur Papua, mereka terus berharap bahwa suatu hari, sistem ini akan kembali ke jalurnya, memberikan apa yang menjadi hak mereka. Sampai saat itu tiba, suara mereka akan terus menggema, melawan setiap bentuk ketidakadilan yang mencoba membungkam mereka.(CR-3)