
Jayapura (1/8/2025)- Halaman kecil di Jalan Teruna Bakti Nomor 15 B, Waena, tampak sedikit lebih ramai dari biasanya. Di sanalah, di Kantor Redaksi Jubi, empat anak muda asal Lanny Jaya — Jefri Wenda, Elinus Wenda, Son David Wenda, dan Elos Wenda — resmi memulai babak baru dalam perjalanan belajar mereka: magang jurnalistik di salah satu media lokal paling berpengaruh di Tanah Papua.
Mereka datang tak hanya membawa ransel dan semangat, tetapi juga segudang mimpi yang tumbuh pelan-pelan dari honai sederhana di Buper Waena. Sejak Oktober 2024, keempatnya menempuh proses belajar di Komunitas Honai Jurnalistik Kampung (HJK) — ruang kecil beralas tanah dan beratap rumput, namun sarat gagasan besar tentang masa depan media di Papua.
Proses penyerahan mereka dilakukan langsung oleh sang mentor, Gusti Tanati, yang selama berbulan-bulan mengajarkan mereka bagaimana menulis dengan hati, mengambil foto dengan rasa, dan berbicara lewat mikrofon podcast sebagai suara anak muda akar rumput. Ia menyebut magang ini sebagai “perjalanan ke jantung ruang redaksi, tempat para jurnalis bukan hanya menulis, tetapi juga memaknai kenyataan.”

“Dari honai ke kantor redaksi — ini bukan sekadar pindah tempat, tapi lompatan rasa percaya diri,” kata Gusti Tanati dengan nada pelan tapi pasti.
Kehadiran mereka disambut hangat oleh Kepala Kantor Jubi, Joana Mantovani, dan Pimpinan Redaksi Jubi, Jean Bisay, yang melihat potensi besar dari kemauan belajar yang tumbuh di komunitas.
“Jubi selalu terbuka bagi siapa pun yang belajar dengan tulus dan datang dari akar rumput. Media ini milik masyarakat Papua — maka jurnalisnya juga harus lahir dari rahim masyarakat Papua,” ujar Jean Bisay. “Kalau ada yang menonjol dan layak, kita pertimbangkan jadi bagian dari Jubi ke depan.”

Magang mereka akan berlangsung selama sebulan, dari 1 hingga 30 Agustus 2025. Dalam periode itu, keempatnya akan belajar langsung di lapangan — mewawancarai narasumber, menulis laporan, hingga menyunting naskah bersama tim redaksi.
Komunitas HJK sendiri bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah ruang tumbuh — tempat anak-anak muda Papua menata hidup dengan pena, kamera, dan suara. Di sela aktivitas jurnalistik, mereka juga mengelola Pondok Kopi Acem, kedai kecil yang disulap jadi panggung diskusi, serta memproduksi Podcast Kopi Acem, suara alternatif dari pinggir kota.
Program magang ini, bagi HJK, bukan akhir dari proses. Justru sebaliknya: ini awal dari jejaring yang mempertemukan komunitas dengan media, keberanian dengan keterampilan, dan mimpi dengan kenyataan. Sebab jurnalisme, di mata mereka, bukan sekadar pekerjaan — tapi jalan pulang menuju masyarakat yang lebih sadar, adil, dan bersuara.(admin)