Seni Peran Papua: Bertahan atau Punah?

Jayapura(8/8/2025) – Di tanah Papua, teater bukan bicara soal hiburan. Ia adalah ruang pewarisan nilai-nilai adat, spiritualitas, dan sejarah perjuangan rakyat. Namun, di tengah arus globalisasi, seni peran tradisional menghadapi tantangan besar: bagaimana bertahan tanpa kehilangan jati diri di hadapan generasi muda yang hidup dalam era digital.

Dikutip dari Podcast Redaksi Jubi, Yohanis Theodorus Yepese, seniman dan budayawan asal Sentani, dan M. Ilham Mustain Murda, S.T., M.Sn, Koordinator Program Studi Seni Tari di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Papua, memberikan perspektif mereka.

Bagi Theo Yepese, seni peran di Papua memiliki akar kuat dalam tradisi lisan masyarakat. Di Sentani, misalnya, dulu dikenal seni peran “hahinoi”—sandiwara komedi yang penuh pesan moral, disajikan secara spontan tanpa naskah tertulis. Masyarakat berkumpul tanpa pengeras suara, namun pesan nasihat, kritik sosial, dan ajakan menjaga lingkungan tersampaikan dengan baik.

“Dulu, seni peran sangat diminati. Kami bermain tanpa skrip, hanya berangkat dari ide cerita yang berkembang di panggung. Sekarang, minat itu mulai hilang. Pemerintah pun jarang memfasilitasi perlombaan atau pementasan rutin. Padahal seni peran adalah media edukasi yang efektif,” ujar Theo.

Tonel—istilah yang diambil dari bahasa Belanda untuk “komedi”—pernah menjadi hiburan rakyat yang sekaligus mendidik. Namun kini, panggung-panggung itu sepi, tergantikan oleh layar ponsel dan televisi.

Ilham Murda melihat kemunduran teater Papua dari tiga faktor utama: minimnya ruang edukasi, kurangnya ruang produksi, dan terbatasnya ruang apresiasi.

“Sanggar memang banyak, tapi sedikit yang dikelola dengan baik. Transfer pengetahuan terputus, sehingga produksi karya menurun. Ditambah lagi, hampir tidak ada ruang pertunjukan yang representatif untuk mengapresiasi karya para pelaku seni,” jelasnya.

Menurutnya, budaya mob—tradisi bercerita jenaka—sebenarnya juga merupakan bentuk teater. Kini, format itu bergeser ke stand up comedy. Namun tanpa dukungan institusional, upaya komunitas melestarikan teater sering terhenti di tengah jalan.

Seni peran tradisional Papua kerap mengangkat kisah fauna dan tokoh adat untuk menyampaikan pesan moral. Theo mencontohkan cerita tentang Ebi (burung) dan Kandei (ikan), atau kisah Bitang Haluboy, pemburu yang sombong hingga lupa bersyukur, lalu mati mengenaskan.

“Dulu, kepala adat berperan penting memajukan seni peran. Sekarang, banyak tarian, nyanyian, dan peran yang hilang karena tidak diwariskan. Seni peran membutuhkan tokoh, karakter, dan latihan. Tanpa itu, ia akan punah,” tegas Theo.

Bagi generasi tua, kemajuan teknologi adalah pedang bermata dua. Televisi, komputer, dan gawai memang membuka akses hiburan, namun sekaligus menggerus ketertarikan pada seni tradisi.

“Harapan saya, drama tradisi diangkat menjadi seni peran modern. Beri panggung dengan pencahayaan, sound system, dan durasi efektif. Jangan biarkan seni peran mati,” ujar Theo.

Ilham menambahkan, pengarsipan dan dokumentasi sangat penting agar pengetahuan seni tidak hilang bersama generasinya. “Banyak cerita dan gerakan tari yang hanya diketahui segelintir orang. Jika tidak dicatat atau direkam, pengetahuan itu akan lenyap,” katanya.

Diskusi pun menyentuh isu sensitif: siapa yang berhak melestarikan dan menampilkan seni budaya Papua. Theo menegaskan, budaya sakral adalah milik masyarakat adat dan hanya mereka yang berhak menjaganya.

“Orang lain tidak bisa menjaga budaya asli Papua. Contoh, atribut cenderawasih, tifa, atau ukiran tertentu adalah simbol kebesaran kepala adat. Boleh dimiliki masyarakat, tapi penggunaannya diatur adat,” jelasnya.

Ia juga menyoroti masalah “pemotongan” karya seni untuk kepentingan luar. “Kalau sebuah pertunjukan dibuat utuh, jangan diambil sepotong-sepotong. Itu merusak makna dan cerita aslinya,” tegasnya.

Seni ukir Sentani, misalnya, memiliki bahasa visual yang sarat makna. Setiap motif dan letak ukiran di tubuh atau perahu mengandung cerita dan status sosial. Mencomot motif tanpa memahami artinya, kata Theo, adalah pelanggaran budaya.

“Dalam budaya kami, setiap ukiran punya makna—ada yang doa, ada yang penanda status. Kalau digunakan sembarangan, orang bisa salah mengerti,” katanya.

Meski menyadari tantangan, baik Theo maupun Ilham percaya seni peran Papua bisa bertahan dengan strategi yang tepat. Edukasi publik, penguatan peran sanggar, pengarsipan, dan adaptasi kreatif menjadi kunci.

Ilham memberi contoh pementasan “bakar batu” yang dikemas sebagai teater edukatif. Proses memasak khas pegunungan itu diiringi narasi dan penjelasan budaya, sehingga penonton belajar sambil menikmati pertunjukan.

“Seni jangan terlalu kaku. Gerakan sakral tetap dijaga, tapi untuk yang bersifat umum, bisa dikembangkan. Yang penting, urutan dan esensi jangan hilang,” ujarnya.

Theo menutup dengan pesan tegas: seni peran Papua harus bebas dari kepentingan pribadi atau politik, dan fokus pada kepentingan umum.

“Kalau tari, orang bisa belajar cepat. Tapi seni peran butuh karakter, tokoh, dan latihan serius. Anak-anak harus dilatih sejak dini, panggung harus dibuka rutin, dan kepala adat harus aktif mendorongnya,” pungkasnya.

Hari Teater Sedunia 2025 menjadi pengingat bahwa di Papua, seni peran adalah cermin identitas. Menjaganya berarti menjaga roh kebudayaan itu sendiri—agar ia tidak sekadar menjadi kenangan di tengah derasnya arus modernisasi.(*)

Ditulis oleh : Elinus Wenda – Honai Jurnalistik Kampung (HJK)

 

 

Admin

Related Posts

Gubernur Papua Tengah Resmi Buka Program Basic TITIP dan Patterning, Tekankan Pentingnya Karakter dan Bahasa untuk Generasi Muda

Sentani (1/9/2025)  – Gubernur Papua Tengah, Meki Fritz Nawipa, melalui Plt Kepala Seksi Fasilitasi Pembiayaan Pendidikan pada Dinas Pendidikan Papua Tengah, Medelky Anouw, S.Si., M.S., secara resmi membuka Program Basic…

2.720 Warga Mengungsi, Mahasiswa Desak Hentikan Operasi Militer di Puncak Jaya

Jayapura(25/8/2025) – Solidaritas Mahasiswa Peduli Kemanusiaan Puncak Jaya bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dan perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggelar konferensi pers di Abepura, Senin (25/8/2025).…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tanah Papua

Kabupaten Yahukimo

  • By
  • Oktober 22, 2024
  • 127 views
Kabupaten Yahukimo

Kabupaten Nduga

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 107 views
Kabupaten Nduga

Kabupaten Yalimo

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 123 views
Kabupaten Yalimo

Kabupaten Tolikara

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 112 views
Kabupaten Tolikara

Kabupaten Pegunungan Bintang

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 100 views
Kabupaten Pegunungan Bintang

Kabupaten Lanny Jaya

  • By
  • Oktober 21, 2024
  • 118 views
Kabupaten Lanny Jaya