
Jakarta(19/8/2025)- Pagi itu, ruang sidang Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat terasa pengap, bukan karena udara yang padat, melainkan juga karena beban kisah yang dibawa para pengunjung. Dari kursi pengunjung, terlihat wajah-wajah yang membawa jejak tanah dan laut jauh dari kampung halaman mereka—Merauke, Rempang, Konawe, Kalimantan Timur, hingga Kalimantan Utara. Mereka adalah warga yang kehilangan tanah, hutan, dan laut akibat Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikukuhkan lewat Undang-Undang Cipta Kerja.
Sidang ke-III Judicial Review hari itu mestinya menjadi ruang rakyat untuk menguji negara. Hakim Konstitusi Suhartoyo membuka persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah. Namun, yang hadir hanya rasa kecewa: DPR tak muncul, sementara perwakilan pemerintah justru meminta penundaan dengan alasan “belum siap” menyusun jawaban.
Edy, kuasa hukum dari YLBHI, berdiri dengan wajah menahan geram. “Warga sudah datang jauh-jauh. Mereka ingin bicara di depan hakim, tapi yang dipanggil justru memilih absen. Ini pelecehan terhadap konstitusi,” katanya lirih, namun cukup tajam untuk menembus keheningan ruang sidang.
Di kursi lain, seorang perwakilan masyarakat adat Merauke menggenggam foto sawah dan hutan sagu yang telah ditimbun alat berat. Baginya, PSN bukan istilah hukum, melainkan kehilangan sehari-hari—kehilangan tempat berburu, kehilangan pangan, kehilangan ruang hidup.
Permohonan uji materi ini sebenarnya diajukan pada 4 Juli 2025 oleh delapan organisasi masyarakat sipil, seorang individu, dan 12 korban PSN. Mereka menyoal frasa “kemudahan dan percepatan PSN” dalam UU Cipta Kerja, yang dianggap abstrak dan multitafsir. Dalam praktiknya, frasa itu berubah menjadi senjata negara untuk meloloskan proyek raksasa tanpa perlu mendengar suara rakyat.
Di Rempang, frasa itu berarti penggusuran. Di Sulawesi Tenggara, ia berarti lubang-lubang tambang nikel yang meracuni air. Di Kalimantan, ia berarti hilangnya hutan untuk Ibu Kota Negara dan kawasan industri hijau yang menjanjikan masa depan gemerlap, tapi meninggalkan gelap di kampung.
“Negara bicara kepentingan umum, tapi siapa yang dimaksud ‘umum’ itu? Kami yang terusir bukan bagian dari umum?” ujar seorang warga dari Kepulauan Riau, suaranya pecah menahan marah sekaligus sedih.
Sidang 19 Agustus itu hanya berlangsung singkat. Hakim menunda jalannya persidangan hingga 25 Agustus. Namun, waktu yang tersisa justru memperdalam kekecewaan. Pemerintah dan DPR, dua lembaga yang paling bertanggung jawab atas lahirnya UU Cipta Kerja, tampak tidak menaruh keseriusan.
GERAM PSN—koalisi masyarakat sipil yang menggugat—menyebut sidang ini bukan hanya soal pasal. Ini tentang arah pembangunan Indonesia ke depan: apakah Mahkamah Konstitusi akan berdiri sebagai penjaga keadilan ekologis, atau sekadar menjadi saksi bisu ketika tanah, laut, dan hutan dirampas atas nama investasi.
Di luar ruang sidang, warga yang hadir menandatangani petisi daring sebagai tanda solidaritas. Tautan itu menyebar dari satu gawai ke gawai lain: https://chng.it/zDbTtmjvcH.
Bagi mereka, keadilan bukanlah konsep yang rumit. Keadilan adalah hak untuk tetap tinggal di tanah sendiri, menanam di ladang sendiri, dan minum air dari sungai yang tak tercemar. Dan sidang di Mahkamah Konstitusi ini adalah upaya terakhir untuk mempertahankannya.(*)