
Jayapura (22/7/2025), – Pagi baru menyapa Kampung Pupehabu, Distrik Kemtuk Gresi, Jumat, 18 Juli 2025. Embun masih belum sepenuhnya menguap ketika dua puluh mama dari kampung-kampung tetangga—Bring, Hyansip, Jagrang, dan Pupehabu—berbondong-bondong memasuki balai kampung. Di tangan mereka tergenggam harapan dan peralatan masak: wajan, kompor, serta perlengkapan sederhana lainnya. Hari itu, bukan sekadar hari pelatihan. Hari itu adalah bagian dari perjalanan panjang menuju kemandirian.
Di ruang yang dindingnya bersahaja namun penuh semangat, Ketua Dewan Adat Suku Klisi, Bapak Dortheis Udam, membuka kegiatan dengan nada suara penuh tekad. “Mama-mama yang hadir ini adalah pilar. Kegiatan ini bisa menjadi dasar untuk membangun ekonomi keluarga dan kampung secara mandiri, tidak tergantung pada dana kampung,” ujarnya dengan tatapan menembus waktu—seakan melihat masa depan kampung yang ditopang oleh tangan-tangan perempuan tangguh.
Pelatihan membuat keripik ini tampak sederhana di permukaan, namun di balik potongan pisang dan singkong, tersimpan semangat perubahan. Mama-mama yang hadir sebagian besar telah terbiasa membuat keripik di rumah. Namun mereka tetap menyambut ilmu baru dengan penuh antusiasme, tawa, dan senyum yang tulus.
Helena Tapatkeding, seorang mama dari Kampung Jagrang, berbagi pengalamannya dengan senyum yang tak lepas dari wajah. “Selama ini kami hanya potong pisang tipis, beri garam, lalu goreng. Tapi di sini kami diajarkan pakai soda kue, mentega, dan bahan lainnya sesuai rasa yang diinginkan,” katanya sembari tertawa kecil bersama Mama Ruth Mebri dan Kristina Tapatkeding—keduanya juga berasal dari Jagrang.
Pelatihan ini tak sekadar teori. Mama-mama terlibat langsung dalam setiap proses: dari mengupas kulit, mencuci, merendam, meniriskan, menggoreng, hingga mengemas secara sederhana—merekatkan plastik menggunakan api lilin dan bantuan penggaris besi.
Varian rasa yang diajarkan pun cukup beragam. Ada keripik pisang asin dan manis, juga keladi serta singkong dengan sentuhan rasa bawang putih dan asin.
Dona Nary, pelatih dari Forum Kerjasama (FOKER) Unit AMAHUTA, menyampaikan rasa bangganya. “Mama-mama sangat antusias dan kreatif dalam memilih rasa yang ingin mereka buat,” ujarnya. Namun, Dona juga mengingatkan pentingnya cara mengeluarkan getah dari bahan baku serta menjaga konsistensi ukuran dan ketebalan keripik agar hasilnya maksimal.
Neni Rochaeni, Knowledge Management Officer dari Samdhana Institute selaku penyelenggara kegiatan, menyampaikan bahwa pelatihan ini adalah ruang belajar bersama bagi mama-mama di kampung, agar mampu memanfaatkan potensi wilayah mereka secara optimal. “Harapannya, kegiatan ini bisa mendorong peningkatan penghasilan, sekaligus tetap menjaga kelestarian lingkungan tempat mereka hidup,” ujarnya.
Ketika ditanya mengapa memilih pelatihan keripik, Neni menjawab sederhana, “Karena proses produksinya cukup mudah dan bisa dilakukan dengan peralatan yang sederhana.”
Ketika matahari mulai tergelincir, pelatihan ditutup. Tapi bukan semangat yang turut berakhir. Dortheis Udam menegaskan harapannya, “Saya berharap pelatihan ini tidak berhenti di sini. Mama-mama harus terus mempraktekkan, hingga produk ini bisa dikenal luas dan membawa manfaat nyata.”
Di Kampung Pupehabu hari itu, aroma keripik dan aroma harapan berpadu dalam satu wajan yang sama. Diaduk oleh cinta, digoreng oleh semangat, dan dikemas dalam niat mulia untuk mandiri—secara ekonomi dan martabat.( Astried)