
Jayapura (21/8/2025)— Hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua 2024 kembali memicu polemik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua, Rabu (20/8/2025), menetapkan pasangan calon nomor urut 02, Matius Derek Fakiri – Aryoko Roemaropen, unggul tipis dengan 259.817 suara atau 50,40 persen. Pasangan ini hanya berjarak 4.134 suara dari pasangan nomor urut 01, Benhur Tomi Mano – Constant Karma (BTM–CK), yang memperoleh 255.683 suara atau 49,60 persen.
Namun, penetapan hasil ini ditolak keras oleh saksi pasangan BTM–CK. BTM melalui akun media sosialnya menyebut keputusan KPU tersebut sebagai tanda “matinya demokrasi di atas Tanah Papua.”
“Ketika Musa membelah lautan, tidak semua kaumnya bisa menyeberang hingga ke seberang. Begitu pula ketika Nuh membangun kapal, tidak semua kaumnya menaiki kapal itu. Keputusan KPU Provinsi Papua bukan akhir dari segalanya. Kita sudah lakukan tugas kita sebagai hamba. Selanjutnya Tuhan dan semesta alam bekerja sesuai kehendak-Nya,” ujar BTM.
Nuansa Kemerdekaan Tercoreng
Panji, salah satu anggota tim sukses BTM–CK melalui akun media sosialnya, bahkan menilai penetapan hasil PSU ini mencoreng momentum 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Panji menuding demokrasi di Papua saat ini hanya sebatas slogan, sementara suara rakyat diperdagangkan melalui praktik kecurangan yang melibatkan penyelenggara.
“Pemilu seharusnya mencerminkan nilai-nilai sila keempat Pancasila, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Demokrasi di Papua dicederai dengan dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM),” tegasnya.
Menurutnya, kecurangan dalam PSU ini bukan sekadar insiden kecil, tetapi bagian dari pola pelanggaran yang direncanakan, melibatkan berbagai aktor, dan memiliki dampak luas terhadap hasil pemilu. “Jika kecurangan dilindungi negara dan dihalalkan, trust publik terhadap hukum di negara ini akan luntur. Demokrasi di Papua kini berubah menjadi Demokrasi Tipe-X PSU Papua,” ungkapnya.
Kritik terhadap Penyelenggara
Panji dan Tim BTM–CK juga mempertanyakan sikap penyelenggara pemilu yang dianggap melegalkan perubahan suara rakyat. Mereka menyinggung Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018 yang mengatur sanksi atas pelanggaran TSM, dan mempertanyakan mengapa regulasi itu tidak dijalankan.
“Siapa yang akan bertanggung jawab jika penyelenggara melegalkan perubahan suara rakyat? Siapa yang akan didiskualifikasi dengan sederet pelanggaran TSM ini? Kami hanya bersuara di atas kebenaran, bukan pembenaran atas kecurangan yang terjadi di PSU Papua,” kata mereka.
Pernyataan tersebut ditutup dengan seruan untuk menyelamatkan demokrasi Papua: #SaveDemokrasi.
Respons Koalisi Mariyo
Sementara itu, pihak Koalisi Papua Cerah, pengusung pasangan Fakhiri–Roemaropen, menegaskan kemenangan Mariyo merupakan cermin suara rakyat Papua yang tidak dapat dimanipulasi.
“Kemenangan Mariyo adalah kemenangan rakyat Papua. Ini bukan soal siapa yang menang, tapi soal siapa yang benar. Rakyat sudah menunjukkan bahwa mereka tidak bisa dibohongi,” tegas Sekretaris Koalisi Papua Cerah, Apedius Mote, usai pleno KPU.
Ia menambahkan perjuangan koalisi bukan sekadar soal politik, tetapi soal menegakkan demokrasi yang bersih dan menjunjung nilai-nilai kebenaran. “Kami tidak hanya mengusung pasangan calon, tapi membawa visi Papua Cerah yang berbasis keterbukaan, pembangunan adat, dan pelibatan generasi muda. Hari ini adalah langkah awal untuk perubahan nyata,” katanya.
Apedius juga menyinggung maraknya disinformasi sepanjang proses Pilgub, termasuk narasi “Gubernur Tipe-X” yang menyebar luas di media sosial. Menurutnya, isu tersebut sengaja diciptakan untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
“Kami tidak takut dengan hoaks. Rakyat Papua hari ini telah menjawab semua kebohongan dengan suara mereka di bilik suara,” ujarnya.
Penetapan pasangan Mariyo oleh KPU Papua juga membawa koalisi pada tahap selanjutnya, yakni pengusulan pelantikan ke pemerintah pusat. Koalisi menyatakan siap mengawal proses hingga pelantikan resmi dilakukan.
“Proses politik sudah selesai. Sekarang saatnya kita bergandengan tangan membangun Papua dengan semangat baru,” pungkas Apedius.
Sebelumnya, sempat beredar luas di media sosial bahwa dua figur ini dijuluki “gubernur tipex” karena dugaan adanya manipulasi Formulir C hasil KWK dengan cara dihapus dan ditulis ulang. Koalisi menegaskan bahwa tuduhan itu hanyalah propaganda untuk mendeligitimasi kemenangan Mariyo.(*)