
Jayapura (7/8/2025) – Papua masih menghadapi krisis HIV/AIDS yang mengkhawatirkan. Tingginya angka infeksi, keterbatasan layanan kesehatan, dan kompleksitas faktor sosial-budaya membuat penanganan penyakit ini menjadi pekerjaan besar yang membutuhkan kolaborasi semua pihak. Di tengah situasi ini, perempuan Papua bukan hanya menjadi kelompok rentan, tetapi juga berperan sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Dikutip dari podcast Redaksi Jubi TV, Vanda Kirihio, Direktur Yayasan Harapan Ibu Papua, dan Sance Joiz Erlely, anggota Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Kota Jayapura, berbagi cerita tentang fakta-fakta yang mereka temukan.
Data Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 30 September 2024 mencatat 20.738 kasus HIV/AIDS dari tujuh kabupaten dan satu kota. Angka ini bersifat kumulatif dan akan terus bertambah seiring ditemukannya kasus baru.
“Data ini tidak menunjukkan penurunan. Secara epidemiologi, HIV/AIDS dihitung kumulatif, sehingga setiap periode perlu evaluasi untuk mengungkap kasus baru,” kata Vanda Kirihio.
Kelompok usia produktif 13–49 tahun menjadi yang paling terdampak, tetapi angka infeksi pada anak juga meningkat drastis. Sance Joiz Erlely menyebut, awalnya KPA hanya mendampingi 3–4 kasus anak, kini bertambah menjadi 12 kasus yang ditangani, belum termasuk yang mendapat perawatan langsung di fasilitas kesehatan. “Kasus ini tidak hanya terjadi pada orang Papua, tetapi juga pendatang,” ujarnya.
Menurut Vanda, perempuan memiliki posisi strategis dalam memutus rantai penularan. Mereka adalah ibu, pendidik, dan pemimpin komunitas yang dapat menjadi agen perubahan di lingkungannya. Yayasan Harapan Ibu Papua yang ia pimpin sejak 2001 rutin melakukan sosialisasi, penyuluhan, dan mengajak perempuan memeriksakan status HIV mereka.
Namun, tantangannya besar. Sance menyoroti rendahnya antusiasme perempuan untuk melakukan tes HIV, meski akses layanan sudah diperluas. KPA bahkan melakukan penyuluhan melalui program persekutuan wanita di gereja, komunitas Hindu, hingga kunjungan langsung ke rumah sakit.
KPA Kota Jayapura, menurut Sance, menjalankan tiga program utama yaitu pemberian nutrisi untuk orang dewasa dan anak-anak yang positif HIV, bantuan dana bagi komunitas untuk penyuluhan dan sosialisasi serta Distribusi kondom dan pengobatan, bekerja sama dengan pihak swasta dan pemerintah.
Vanda mengisahkan pengalaman melakukan penyuluhan di bar dan tempat pijat, mengedukasi pekerja seks untuk menggunakan kondom. “Kadang kita senang kalau mereka mau dengar, tapi sering juga merasa sedih dan kesal karena masih banyak yang mengabaikan,” ujarnya.
Ada juga kisah inspiratif seorang pekerja bar yang terinfeksi HIV, menjalani pengobatan, lalu sembuh dan mengabdikan diri sebagai pelayan di ladang Tuhan. “Cerita seperti ini membuat kami terharu dan termotivasi untuk terus bekerja,” kata Vanda.
Banyak pasien yang tinggal di Jayapura bertahun-tahun tetapi tidak memiliki KTP, sehingga sulit mengakses layanan kesehatan. KPA menginisiasi kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) untuk membantu komunitas rentan seperti transpuan, transmen, dan gay dalam pengurusan dokumen kependudukan.
Sejak 2018, Yayasan Harapan Ibu Papua kehilangan sumber pendanaan tetap untuk program pencegahan HIV/AIDS. Dukungan kini hanya datang dari lembaga donor, swadaya, dan kerelaan anggota. Pandemi COVID-19 mempersempit alokasi anggaran, meski APBD Kota Jayapura masih menyisihkan dana untuk program KPA.
“Siapa yang mau tolong kita, kita harus menolong diri kita sendiri,” tegas Vanda, sambil menyinggung bahwa dana otonomi khusus seringkali tidak memberi manfaat langsung bagi penanggulangan HIV/AIDS.
Vanda juga menyoroti manfaat buah merah sebagai penambah nutrisi untuk penderita HIV/AIDS, meski tidak dapat menyembuhkan virus. Obat yang diakui secara medis adalah antiretroviral (ARV), yang berfungsi menekan jumlah virus di dalam tubuh.
Bagi Sance, penting untuk menghilangkan stigma. “HIV/AIDS bukan akhir. Bisa diobati, jadi jangan menyembunyikan status positif,” katanya. Edukasi perilaku sehat, keterbukaan, dan dukungan komunitas menjadi kunci dalam mengendalikan epidemi ini.
Krisis HIV/AIDS di Papua bukan sekadar masalah medis, tetapi juga persoalan sosial, budaya, dan ekonomi. Perempuan berada di tengah pusaran—sebagai kelompok yang rentan sekaligus agen perubahan. Dari kisah sedih hingga cerita inspiratif, perjuangan melawan HIV/AIDS di Papua terus berjalan, meski dibatasi sumber daya dan menghadapi tantangan besar.
Seperti pesan Vanda Kirihio, “Kalau kita mau bertahan, kita harus berjuang bersama. HIV/AIDS adalah masalah kita semua.”(*)
Ditulis oleh : Jefri Wenda – Honai Jurnalistik Kampung (HJK)